JAKARTA, HUMAS MKRI – Platform digital bertanggung jawab terhadap konten-konten melanggar hak cipta karena bisa mendeteksi pelanggaran tersebut dengan teknologi digitalnya. Demikian disampaikan oleh Ahmad M Ramli yang merupakan Guru Besar Cyberlaw dan Kekayaan Intelektual Universitas Padjadjaran. Ramli dihadirkan oleh Pemerintah sebagai Ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Sidang kesembilan yang digelar pada Selasa (30/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Ramli menerangkan, platform digital dimungkinkan mendeteksi konten yang melanggar hak cipta pada platformnya dengan dukungan teknologi dan artificial intelligence (AI). Dengan demikian, lanjutnya, untuk melindungi pencipta, maka platform digital seharusnya menerapkan teknologi seperti CMT dan Content ID.
“Mengingat teknologi AI dan metode algoritma telah berkembang demikian pesat, maka platform digital memiliki kewajiban untuk membuat sistem deteksi awal terhadap konten-konten pelanggar hak cipta,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Menurut Ramli, hal ini sejalan dengan modifikasi prinsip strict liability, tanggung jawab dan pembuktian dibebankan kepada pemilik teknologi, bukan kepada korban. Pengelola platform adalah pemilik teknologi itu. Hal ini berbeda dengan prinsip tanggung jawab konservatif dalam bentuk liability based on fault. Seperti yang dianut negara-negara yang maju di bidang hak cipta, bahwa pelanggaran oleh platform digital atau menunda-nunda untuk menghapus atau takedown bisa berakibat dituntut sebagai pelanggaran hak cipta.
Peralihan Ruang Bisnis
Sebagai akademisi kekayaan intelektual dan cyber law, Ramli berpendapat pada prinsipnya bahwa Pasal 10 juncto Pasal 114 UUHC tersebut dapat ditafsirkan secara ekstensif tidak hanya mencakup ruang fisik, tetapi di dalamnya juga termasuk ruang virtual. Hal ini adil mengingat sudah terjadi transformasi model bisnis konten digital dan peralihan yang sangat signifikan dari ruang fisik ke ruang digital.
“Sehingga, berdasarkan metode penafsiran ini, maka Pasal 10 UUHC yang berbunyi ‘Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya’ dapat ditafsirkan mencakup baik ruang fisik (Physicaly commerce) maupun ruang virtual (cyberspace commerce), dengan demikian, platform digital dapat diidentikan dengan frasa ‘tempat perdagangan’ dalam Pasal 10 UUHC.
Sanksi Pidana Pelanggaran
Terkait sanksi pidana, Ramli menyebut UUHC mengklasifikasikan jenis ancaman pidana berbeda untuk pelaku pembajakan, pelanggar penggandaan, dan lainnya. Terkait platform digital seharusnya tetap dengan sanksi Pasal 114 UUHC yang ada, karena posisinya sebatas sebagai landlord liability dan bukan bentuk pelanggaran lainnya. Sehingga cukup menggunakan Pasal 114 UUHC dan tidak diperlukan jenis sanksi pidana baru.
“Best practices-nya pun menunjukan pendekatan lebih bersifat perdata dan administrative daripada pidana. Bahwa saat ini disadari hukum selalu tertinggal dari teknologi,” ungkapnya.
Ramli menuturkan, untuk mengatasinya tidak mudah, karena Indonesia lekat dengan prinsip hukum tertulis. “Untuk mengatasi hal ini, saat ini saya tengah mengembangkan Teori Hukum Transformatif yang salah satu bentuknya adalah penerapan metode penafsiran ekstensif dan metode landmark decision untuk mengatasi kesenjangan hukum dan teknologi dan penerapan prinsip lex informatica,” tandas Ramli.
Oleh karena itu, Ramli menjelaskan landmark decision yang berlandaskan lex informatica adalah suatu putusan hakim yang menerapkan prinsip atau konsep hukum baru yang signifikan terkait transformasi digital, atau hal lain yang secara substansial mengubah penafsiran hukum yang ada. Dalam konteks teori hukum transformatif, hukum terdiri atas asas yang di dalamnya juga terdapat prinsip lex informatica, norma yang tidak steril dari anasir-anasir non-hukum, lembaga yang terdiri atas pembentuk hukum, penegak hukum, dan regulator, serta proses pembentukan, penegakan, dan implementasi hukum tersebut.
Penafsiran Ekstensif
Menanggapi keterangan Ahli Pemohon tersebut, Wakil Ketua MK Saldi Isra mempertanyakan keterangan Ramli yang menyebut diperlukannya penafsiran ekstensif dari Pasal 10 UUHC.
“Saya ingin tanyakan apakah petitumnya Pemohon yang meminta agar Mahkamah menyatakan ‘Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis User Generated Content (UGC) dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan dan/atau Layanan Digital yang dikelolanya’ termasuk penafsiran ekstensif yang Prof maksudkan?” tanya Saldi.
Ramli menjawab jika Mahkamah hendak memberikan tambahan penafsiran dari Pasal 10 UUHC dengan konstitusional bersyarat dengan makna tertentu, maka tentu itu menjadi kewenangan Mahkamah. “Dan itu, menurut kami, akan membuat kepastian hukum yang lebih baik di lapangan ketika hakim-hakim akan berhadapan dengan kasus-kasus yang lain,” jawabnya.
Baca juga:
Aquarius Musikindo Perbaiki Kedudukan Hukum
Tak Dapat Tuntut Penyedia Platform yang Langgar Hak Cipta, Aquarius Musikindo Mengadu ke MK
Perlindungan Karya Cipta Indonesia Meratifikasi Perjanjian Internasional
Ahli: Perubahan Teknologi Dapat Pengaruhi Sistem Bisnis Musik
Ahli Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang UU Hak Cipta
Sebagai Informasi, PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Pemohon mendalilkan berdasarkan dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis User Generate Content (UGC).
Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait.
Pemohon menilai UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina