JAKARTA, HUMAS MKRI – Informasi publik yang dikecualikan untuk diberikan kepada pemohon informasi menjadi dapat diberikan sepanjang memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Hal ini disampaikan oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mewakili Pemerintah memberikan keterangan untuk Perkara Nomor 132/PUU-XXI/2023. Perkara ini diajukan oleh Rega Felix yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 18 ayat (2) UU KIP. Sidang ketiga perkara ini digelar pada Senin (29/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Usman menyebut kriteria yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a UU KIP, di antaranya pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b UU KIP.
“Namun demikian, sebagaimana asas dalam Pasal 2 ayat (4) UU KIP, pengungkapan tersebut juga harus bertujuan untuk kepentingan publik yang lebih besar. Adapun pengujian tentang kepentingan publik yang lebih besar tersebut dapat dilakukan melalui pendaftaran sengketa ke Komisi Informasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 UU KIP,” jelas Usman di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Menurut Usman, frasa dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) huruf b UU KIP, yaitu “…berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik” menjadi pembeda yang tegas dengan rumusan dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a UU KIP. Ketika informasi yang dimohon dilepaskan dari keterkaitannya dengan posisi seseorang dalam jabatan publik, maka kualifikasinya berubah menjadi informasi pribadi yang bersifat rahasia, dimana pengungkapannya harus dengan persetujuan tertulis dari pemilik informasi. “Dengan demikian, jabatan publik yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b UU KIP dimaknai sebagai jabatan publik yang telah diisi seseorang secara definitif,” tambahnya.
Kemudian, Pemerintah juga menanggapi mengenai keinginan Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi agar ketentuan a quo untuk dimaknai juga “termasuk dapat dilakukan dalam bentuk daftar nama peserta dan persyaratan kualifikasi minimum dalam proses seleksi terbuka untuk penempatan jabatan-jabatan publik”. Usman menjelaskan apabila memperhatikan posita Pemohon mengenai pengungkapan informasi yang mencakup daftar nama yang dikombinasikan dengan kualifikasi minimal terkait kesehatan peserta lain yang bersifat rahasia, menurut Pemerintah, hal tersebut justru akan melanggar hak subjek data pribadi dari peserta lain yang dinyatakan lulus/tidak lulus dalam seleksi.
Usman menjelaskan hak subjek data pribadi diatur dalam ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 13 UU PDP yang pada intinya mengatur hanya subjek data pribadi saja yang memiliki akses terhadap data pribadinya sendiri.
“Keinginan Pemohon agar instansi tempat Pemohon melamar pekerjaan untuk mengungkap daftar nama yang dikombinasikan dengan kualifikasi minimal terkait kesehatan sebagaimana dalam posita Pemohon akan mengarah pada pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU PDP,” papar Usman.
Pertanyakan Posisi KIP
Menanggapi keterangan Pemerintah, Majelis Hakim Konstitusi mempertanyakan mengenai adanya Komisi Informasi Publik (KIP) dalam keterangan Pemerintah, padahal KIP merupakan komisi independen yang berada di luar lingkup Pemerintahan. Hal ini dipersoalkan oleh Ketua MK Suhartoyo, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, serta Hakim Konstitusi Arsul Sani. Arief meminta klarifikasi bahwa dalam keterangannya Menteri Kominfo membuat surat kuasa subtitusi yang menurutnya memuat sejumlah keganjilan, di antaranya memuat keterangan dari pejabat KIP.
“Komisi Informasi Pusat atau Daerah adalah badan yang otonom atau independen. Ini terlepas dari Pemerintah. Bagaimana pandangan dari Kominfo? Apakah ini di bawah Pemerintah atau badan independen, komisi tersendiri yang bukan di bawah Kominfo?” ujar Arief.
Ketua MK Suhartoyo pun menambahkan bahwa sekiranya persidangan berikutnya, MK berniat untuk memanggil KIP dan Bank Indonesia untuk memberikan keterangan sebagai Pihak Terkait. Namun, lanjutnya, mendengar keterangan dari Pemerintah , Mahkamah akan mempertimbangkan ulang agenda tersebut.
“Memang benar keterangan dari para Yang Mulia tadi, kami tidak ada perkiraan bahwa KIP akan ditarik sebagai bagian dari Pemerintah. Posisinya ada di luar, karena tidak ada kekhawatiran itu, kalau memang keterangan hari ini adalah bagian dari KIP bisa jadi nanti kami tidak relevan lagi memanggil KIP atau kami akan tetap mintakan,” jelas Suhartoyo.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Makna Keterbukaan Data Pribadi Bagi Seseorang Dalam Jabatan Publik
Advokat Minta Tafsir Jelas dari Aturan Informasi yang Dikecualikan dalam UU KIP
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 18 ayat (2) UU KIP mengecualikan data pribadi berupa riwayat dan kondisi anggota keluarga hingga hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang, dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan satuan pendidikan formal dan non-formal sebagaimana yang termuat pada Pasal 17 huruf h UU KIP bagi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.
Dalam kasus konkret, Pemohon menceritakan tentang kronologis saat mengikuti seleksi penempatan jabatan yang bersifat publik di Bank Indonesia. Namun Pemohon dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi. Kemudian Pemohon meminta daftar nama peserta, hasil evaluasi Pemohon tidak diterima, dan daftar hasil tinjauan kesehatan Pemohon. Akan tetapi pihak penyelenggara ujian menolak dan hanya memberikan catatan kesehatan Pemohon, sehingga Pemohon tidak mendapatkan hak sanggah terhadap informasi yang sejatinya bersifat informasi publik. Berdasarkan hal itu, terdapat multitafsir dari causal verban dari norma Pasal 18 ayat (2) UU KIP dengan kerugian konstitusional Pemohon karena hasil tes dari ujian yang dimintakan oleh Pemohon dinyatakan dikecualikan sebagai informasi publik.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan frasa ‘posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik’ dalam Pasal 18 ayat (2) UU KIP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk daftar nama peserta dalam proses seleksi terbuka dalam rangka penempatan posisi jabatan-jabatan publik’.
Di akhir persidangan, Suhartoyo menyampaikan jadwal persidangan berikutnya akan digelar pada Senin, 12 Februari 2024 pukul 10.30 WIB. Agenda sidang, yakni mendengar keterangan DPR, Bank Indonesia, dan KIP sebagai pemberi keterangan serta Ahli dari Pemerintah. (*)
Penulis: Fauzan F./L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha