JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 ihwal uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) pada Kamis (25/01/2024). Permohonan diajukan oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan. Agenda sidang hari ini yakni mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan para Pemohon.
Pakar Hukum Tata Negara Susi Dwi Harijanti dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon menyebutkan bahwa public hearing yang dilaksanakan sekedarnya, semata-mata untuk memenuhi aspek prosedural formal sebagaimana dilakukan dalam pembentukan UU Kesehatan merupakan bentuk kebijakan tokenistik, yang semata-mata ditujukan untuk menghadirkan partisipasi fisik, tanpa menghiraukan partisipasi gagasan.
“Argumentasi yang Ahli sampaikan tersebut, dapat dijustifikasi dari dua fenomena sebagai berikut: adanya ketidakhati-hatian pembentuk undang-undang dalam mengidentifikasi stakeholder yang wajib dilibatkan di dalam forum-forum pembahasan. Misalnya, Konsil Kedoketaran Inonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), maupun sejumlah Kolegium yang terdampak langsung dengan UU a quo, tidak turut diundang untuk memberikan pendapat dan masukan terhadap rancangan undang-undang,” ujarnya.
Padahal, sambung Susi, pelibatan stakeholders tersebut memiliki potensi untuk mengubah atau memengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh pembentuk undang-undang. Selain itu, sejumlah gagasan atau masukan yang telah disampaikan oleh stakeholder di dalam forum-forum pembahasan atau bahkan dicantumkan di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), namun sejumlah gagasan tersebut tidak dibahas secara substantif dengan intensitas pembahasan yang memadai yang dapat menghasilkan sebuah kesimpulan, atau resultante, atau kebijakan alternatif yang win-win. Padahal, sejumlah gagasan tersebut merupakan ketentuan atau pasal yang merupakan “jantung” dari UU a quo seperti ketentuan mengenai organisasi profesi tunggal, Konsil independen, Kolegium sebagai academic body organisasi profesi, majelis kehormatan disiplin kedokteran/kesehatan, perlindungan hukum tenaga medis dan tenaga kesehatan, pendanaan kesehatan wajib oleh pemerintah (mandatory spending), dan berbagai ketentuan lainnya.
Keikutsertaan DPD
Susi menjelaskan, perubahan UUD 1945 turut menyebabkan perubahan politik hukum otonomi daerah sebagai politik hukum paling utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini didasarkan pernyataan eksplisit mengenai asas otonomi dan pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dikehendaki secara selaras dan adil. Oleh karena itu, di dalam pandangannya sebagai ahli, jika dikaitkan dengan Pasal 22D serta putusan MK yang juga pernah dijatuhkan yang berkaitan dengan DPD maka Pasal 22D itu merupakan protection close terhadap Pasal 18, 18A dan 18B.
“Itulah maknanya mengapa DPD itu dibentuk dan diberi wewenang semacam itu. Kehadiran DPD harus dilihat maknanya itu untuk mengikutsertakan DPD di dalam penyelenggaraan negara sehari-hari. Dan dari kewenangan DPD untuk mengusulkan dan ikut membahas rancangan UU tertentu sebagaimana disebutkan di atas dalam konteks UU a quo maka keberadaan DPD adalah sebagai balancing DPR dan Presiden dalam rangka menjaga politik hukum otonomi daerah untuk memastikan bagian atau pelimpahan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah memenuhi prinsip otonomi seluas-luasnya,” tegas Susi di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
Ketidaksertaan DPD
Pada kesempatan ini, Presiden menghadirkan dua ahli, yakni Aidul Fitriciada Azhari, dan Ahmad Redi. Guru Besar hukum Tata Negara Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, ketidakikutsertaan DPD dalam pembahasan suatu RUU tidak serta merta membuat RUU tersebut menjadi cacat prosedur. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 73/PUU-XII/2014.
“Berdasarkan Putusan MKRI a quo, jelas bahwa RUU Kesehatan berada di luar substansi Pasal 22D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga pembahasan bersama dilakukan antara Presiden dan DPR,” kata Aidul.
Lebih lanjut Aidul menjelaskan, keikutsertaan DPD dalam membahas RUU yang dimaksud pada Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah dalam konteks pembahasan RUU yang secara limitatif ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketentuan tentang limitasi RUU yang menjadi kewenangan DPD itu sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan lain. Makna “yang berkaitan” dalam ketentuan tersebut menunjukkan pada substansi RUU yang berkaitan langsung dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Frase “yang berkaitan” tidak dapat dimaknai “mengandung dimensi” atau “mengandung aspek” karena bertentangan dengan limitasi yang dimaksudkan pada Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian, sambung Aidul, dalam kaitan dengan RUU Kesehatan yang sekalipun di dalamnya mengandung dimensi daerah atau pemerintah daerah tidak serta merta harus dimaknai sebagai berkaitan dengan substansi RUU sebagaimana disebutkan pada Pasal 22D ayat (2) a quo yang meniscayakan keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan.
Kewenangan DPD
Ahmad Redi menyampaikan keterangan tentang pemaknaan terhadap keikutsertaan DPD dalam pembahasan UU Kesehatan. Menurutnya, secara normatif dan aplikatif, kewenangan DPD RI ikut membahas RUU telah dan akan termanifestasi dalam berbagai legislasi, antara lain: pertama, terkait otonomi daerah, yaitu UU mengenai pemerintahan daerah, saat ini yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang undang-undang pemilihan kepala daerah ini secara genetis-historis dimulai dengan pengaturan berasal dari atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kedua, terkait hubungan pusat dan daerah, yaitu UU Kekhususan Papua dan Papua Barat, UU Kekhususan DKI Jakarta, UU Keistimewaan Aceh, UU Keistimewaan Yogyakarta, dan UU IKN yang merupakan produk legislasi rezim desentralisasi asimetri, serta UU seperti UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Kelautan, termasuk UU mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ketiga, terkait pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, yaitu berbagai UU mengenai daerah otonomi baru (DOB), seperti 4 (empat) UU DOB baru meliputi provinsi Papua Selatan, provinsi Papua Tengah, provinsi Papua Pegunungan, dan provinsi Papua Barat Daya.
Keempat, terkait pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, yaitu berbagai UU sektor sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, seperti UU Minerba, UU Migas, UU Panas Bumi, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Perikanan, dan UU Sumber Daya Air. Kelima, terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah yaitu UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Menurut Ahli, berbagai legislasi di ataslah yang secara atributif menjadi kewenangan mutlak-absolut DPD RI untuk ikut membahas RUU-nya. Sedangkan untuk RUU selain lima hal di atas, seperti RUU bidang kesehatan maka secara normatif konstitusional bukanlah menjadi kewenangan dari DPD RI untuk ikut membahas RUU-nya,” terang Ahmad Redi yang juga merupakan Pengajar di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur.
Baca juga:
Cacat Formil UU Kesehatan Versi Organisasi Profesi
Lima Organisasi Profesi Medis Perbaiki Uji Formil UU Kesehatan
Sidang Uji Formil UU Kesehatan: DPR Tak Hadir, Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan
Pembentukan UU Kesehatan untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat
PDSI dan P2KPK Ungkap Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan UU Kesehatan
DPR Ungkap Keterlibatan Organisasi Profesi dalam Pembentukan UU Kesehatan
Akibat Hukum Ketidakterlibatan DPD dalam Pembentukan UU Kesehatan
Sebagai tambahan informasi, Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri atas lima organisasi profesi medis dan kesehatan, mengajukan pengujian formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke MK. Kelima organisasi profesi medis dan kesehatan dimaksud yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai Pemohon I, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sebagai Pemohon II, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) sebagai Pemohon III, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) sebagai Pemohon IV, dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) sebagai Pemohon V).
Dalam sidang perdana pengujian formil UU Kesehatan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 yang digelar di MK pada Kamis (12/10/2023), Muhammad Joni selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, para Pemohon merupakan tenaga medis yang terdampak langsung dan memiliki kepentingan atas prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. Sebab berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti. Termasuk mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa prosedur formil yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation).
Terlebih lagi, sambung Joni, adanya Bab XIX Ketentuan Peralihan, Pasal 451 yang menjadi norma hukum menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ “jantung” organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan "milik” pemerintah). Pasal 451 UU Kesehatan menyatakan, “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini.”
Cacat Formil
Pada alasan permohonan para Pemohon menilai UU Kesehatan mengalami cacat formil. Hal ini karena tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan dan tidak adanya pertimbangan DPD dalam pembuatan UU Kesehatan, serta tidak sesuai dengan prosedur pembuatan norma sebagaimana ditentukan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan UU Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.