JAKARTA, HUMAS MKRI – Sehubungan dengan kedudukannya, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, termasuk yang dilakukan secara koneksitas. Karenanya konsep koneksitas harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan.
Hal ini disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Gugum Ridho Putra (Pemohon) pada sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (25/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kelima terhadap Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
Dalam keterangannya, Gandjar juga menerangkan pada dasarnya, sebuah kekhususan diberikan karena tindak pidananya berbeda dengan tindak pidana lain pada umumnya. Dalam hal kejahatan, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara luar biasa. Akan tetapi, lanjutnya, kedudukan subjek hukumnya tidak menjadi suatu yang memiliki kekhususan melainkan hanya untuk pengungkapan dan penyelesaian yang tuntas dalam kerangka penegakan hukum. Sebab, kejahatan korupsi adalah delik komuna yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan kejahatan korupsi bukan delik propria atau kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang dengan kualifikasi tertentu. Sehingga, ketentuan hukum pidana formil pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga berlaku bagi KPK. Oleh karenanya, segala prosedur dan tata cara yang terdapat di dalamnya juga melekat dan mengikat KPK. Singkatnya, berbagai frasa yang terdapat di dalam KUHAP yang berkaitan dengan kewenangan penanganan tindak pidana korupsi seharusnya dimaknai secara fungsional dan sistematis.
Lebih jelas Gandjar mengatakan, berdasar riwayat lahirnya UU KPK, dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka diharapkan Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum KPK yang bersifat independen sehingga keanggotaannya tidak diambil dari institusi yang ada, melainkan direkrut melalui proses rekrutmen tersendiri. Namun proses rekrutmen yang membutuhkan waktu membuat para pembuat undang-undang memperkenankan adanya penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang diambil dari institusi yang ada. Sehingga dalam hal ini, KPK bertindak atau diberikan tugas koordinasi dan supervisi bagi institusi Polri dan Kejaksaan serta tidak boleh berperan sendirian dalam penanganan tindak pidana korupsi.
“Dengan berbagai kekhususan yang dimiliki KPK, tidak berlebihan apabila KPK menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang ditemukannya dan/atau dilaporkan kepadanya, sepanjang memenuhi kriteria perkara tindak pidana korupsi sesuai kewenangan KPK yang diatur di dalam undang-undang. Pada dasarnya, meski mempunyai kedudukan yang khusus, Pimpinan KPK memiliki kedudukan yang sama dengan pimpinan Polri dan Kejaksaan sepanjang menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, segala peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi juga berlaku bagi KPK sepanjang tidak diatur lain,” jelas Gandjar.
Baca juga:
Memperkuat Kewenangan KPK dalam Penyidikan Tipikor Koneksitas
Pemohon Uji UU KPK Ubah Kedudukan Hukum
MK Tunda Sidang Uji Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Koneksitas
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gugum Ridho Putra (Pemohon). Pemohon mengujikan secara materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945.
Pemohon menguji Pasal 42 UU KPK. Kemudian kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.
Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana yang melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja. Pemohon meyakini, ketidakprofesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.