JAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam kurun waktu 2005 – 2023, jumlah serikat pekerja di Indonesia menurun drastis dari 1,8 juta menjadi hanya 165.000 serikat pekerja. Padahal keberadaannya penting dalam menjaga keseimbangan dalam hubungan industrial antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pemerintah. Sebab, serikat pekerja sejatinya wujud hak kolektif pekerja dalam memperjuangkan kepentingannya melalui proses perundingan yang dijamin UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, tetapi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) tidak mengatur hal tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Indrasari Tjandraningsih dari AKATIGA Pusat Analisis Sosial yang hadir sebagai Ahli Pemohon Nomor 40/PUU-XXI/2023. Sidang lanjutan atas uji formil UU Cipta Kerja tersebut digelar pada Kamis (25/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Indrasari juga menyampaikan Indonesia menggunakan paradigma kapitalisme neoliberal berupa bekerjanya mekanisme pasar dalam soal hubungan kerja dan menarik mundur tanggung jawab serta peran pemerintah dalam perlindungan terhadap pekerja, termasuk melalui serikat pekerja. Namun, adanya pasal-pasal mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan alih daya yang termuat dalam UU Cipta Kerja ini telah mengubah model hubungan kerja dari tetap menjadi tidak tetap yang berimplikasi langsung terhadap kekuatan serikat buruh. Karena pada dasarnya, pekerja kontrak tidak begitu tertarik untuk bergabung dan mempertahankan pekerjaannya. Dengan berkurangnya atau turunnya eksistensi serikat buruh, maka berpengaruh pada kesempatan berunding bagi serikat pekerja yang berimplikasi terhadap keseimbangan dalam hubungan industrial yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan ketegangan industrial.
“Hal ini tampak saat proses pembuatan UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan selama tiga tahun terakhir bahkan hingga saat ini, yang mengabaikan serikat buruh sebagai pemangku kepentingan utama dalam proses undang-undang sehingga memicu situasi dan kondisi hubungan kerja yang tidak produktif dan merugikan semua pihak,” jelas Indrasari yang juga memberikan keterangan untuk Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan.
Semakin lemahnya peran serikat pekerja ini, menurut Indrasari, berdampak buruk pada terciptanya hubungan industrial yang tidak harmonis dan berkeadilan. Pada dasarnya, dalam pandangannya, eksistensi serikat pekerja tidak hanya menguntungkan pekerja dan pemberi kerja. Sebab komunikasi dengan serikat pekerja menjadi langkah efisien bagi pemberi kerja utamanya dalam skala besar untuk merundingkan berbagai kebijakan dan aturan serta kepentingan pemberi kerja melalui serikat pekerja.
“UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan mengingkari amanat UUD 1945 dengan menghilangkan kepastian kerja dan kesempatan untuk bekerja secara layak, keadilan dalam hubungan kerja, kebebasan berserikat dan mundurnya perlindungan negara terhadap pekerjaan sebagai kelompok warga negara yang berposisi lebih lemah di hadapan pemberi kerja,” tandas Indrasari atas pengujian UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan ini.
Jaminan Perlindungan Hukum dan Kesejahteraan Pekerja
Sementara itu, John Pieris selaku Ahli Pemohon lainnya dari AFFIDAVIT berikutnya mengungkapkan bahwa dipindahkannya norma hukum mengenai jaminan perlindungan hukum dan kesejahteraan pekerja dari UU Cipta kerja ke Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2001 sebagai aturan pelaksana bertolak belakang dengan asas kepastian hukum dan asas kehati-hatian dalam membuat konstruksi hukum secara berjenjang. Tindakan ini, sambungnya, dapat dianggap sebagai upaya merendahkan norma hukum dan mengaburkan supremasi hukum.
Berikutnya, berkaitan dengan makna dan pembatasan open legal policy, Pieris berpendapat ada standar teori dan etika dalam politik perundang-undangan di Indonesia. “UU Cipta Kerja divonis MK inkonstitusional bersyarat, kemudian keluarlah Perppu Cipta Kerja yang disetujui DPR. Sehingga terdapat tidak ada keteraturan mekanisme dalam politik perundang-undangan dari pembentukan hukum yang rapi dan teratur. Doktrin open legal policy semestinya ditempuh secara hati-hati dan tetap berada pada koridor konstitusi, tidak menabrak konstitusi dan UU P3,” jelas Pieris.
Baca juga:
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Persoalkan Penetapan UU Cipta Kerja
KSBSI Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Proses Pembentukan UU Cipta Kerja Kembali Dipersoalkan
Sejumlah Badan Hukum Perjelas Alasan Pengujian Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Ratusan Pekerja Tuding UU Cipta Kerja Permudah Mekanisme PHK
Ratusan Pekerja Perkuat Dalil Uji UU Cipta Kerja
Uji Konstitusionalitas Dua Lembaga Sertifikasi Halal
Partai Buruh Tambahkan Bukti Uji Formil UU Cipta Kerja
Partai Buruh Minta MK Batalkan UU Cipta Kerja
DPR dan Presiden Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Tetapkan Pemisahan Uji Formil dan Tunda Uji Materil UU Cipta Kerja
Keterangan DPR dan Presiden Belum Siap, Sidang UU Cipta Kerja Ditunda
Sidang Uji Materil UU Cipta Kerja Ditunda Hingga Uji Formil Diputus
Ahli Pemerintah Bahas Batas PKWT dalam UU Cipta Kerja
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Pemohon menguraikan dalil permohonannya. Ia mengatakan pemohon berusia produktif bekerja meskipun pemohon belum bekerja tetapi secara potensial pemohon pasti bekerja. Ketika pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja. Tentu sangat rawan sekali mengingat pekerja ini merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal kalau kita lihat di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap.
Pendapat Pemohon ini berdasarkan bahwa perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu terlebih lagi bahwa pemberlakuan Pasal tersebut dapat memperpanjang Kembali dalam jangka waktu kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat. Dalam permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pemohon kemudian menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina