JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP IPPAT) Hapendi Harahap memberikan keterangan selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pada Selasa (23/1/2024). Sidang Perkara Nomor 117/PUU-XXI/2023 yang diajukan Budi Wibowo Halim ini, dipimpin langsung Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Lebih jelas Hapendi menjabarkan bahwa sejarah hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) telah ada sejak 1924. Kemudian pada 1997 lahir UU 21/1997 yang menyatakan BPHTB adalah pajak yang dikenakan terhadap perolehan atas tanah dan bangunan sebesar 5% dengan lingkupnya berupa peristiwa hukum diperoleh dari hak atas tanah/bangunan oleh pribadi. Dalam hal ini, pajak dari BPHTB yang terutang, baik yang diperoleh karena jual beli, tukar menukar, maupun hibah bermakna sejak dibuat dan ditandatangani oleh wajib pajak di hadapan PPAT. Apabila wajib pajak tidak melunasi pembayaran, maka dikenakan denda atau bunga.
Hapendi melanjutkan, pada 2000, UU 21/1997 ini diubah sebagian menjadi UU 20/2000, yang pada intinya tidak mempengaruhi prinsip pengenaan pajak yang diatur pada norma hukum sebelumnya. Barulah pada ketentuan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku ini membawa perubahan dalam pemungutan BPHTB, semula kewenangan pajak bagi pemerintah pusat menjadi wewenang dari pemerintah kabupaten/kota.
Konsekuensinya, sambung Hapendi, setiap pemerintah kabupaten/kota yang ingin memungut BPHTB harus menetapkan peraturan daerah terlebih dahulu tentangnya. Atas berlakunya UU 28/2009 ini yang melibatkan PPAT yang bukan pejabat pajak, justru menambah tugas dan kewajiban PPAT karena harus memeriksa apakah pembayaran BPHTB terhadap jual beli yang akan ditandatangani telah lunas atau belum. Dasar hukum dari ketentuan tersebut, jika pada UU 21/1997 dicantumkan Pasal 25 bahwa PPAT hanya dapat menandatangani akta setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
“Oleh karena itu, PPAT tidak lagi berurusan dengan pembuatan akta pembayaran BPHTB, karena dari definisinya saja adalah pajak yang dikenakan setelah menerima hak atas tanah/bangunan. Lalu, PPAT sudah banyak menjadi korban dari ketentuan yang mengharuskannya hanya dapat menandatangani akta setelah wajib pajak melunasi pembayaran akibat dari validasi atau sahnya pembayaran BPHTB itu setelah dilakukan validasi oleh BPKAD. Sehingga dalam kasus-kasus tertentu, penandatanganan akta yang tidak bisa dilakukan penomoran dan penanggalan sebelum BPHTB divalidasi oleh kantor BPKAD meskipun sudah dibayar bank pembayarannya. Akibat dari tidak bisa dilakukan hal ini, ada ketidakpastian hukum yang dialami karena adanya berbedanya tanggal dan hari penandatanganan akta dengan penomoran dan penanggalannya. Jika pada UU 21/1997 setiap perbuatan yang dilakukan PPAT terhadap penomoran/penanggalan akta yang belum divalidasi akan didenda 5 juta per akta, namun lahirnya UU 1/2022 telah menghapus sanksi tersebut. Kami berterima kasih pada Pemerintah karena telah memberikan harmonisasi peraturan perundang-undangan saat terutangnya pajak BPHTB tersebut dan berlakunya saat terjadinya peralihan hak berdasarkan akta pemindahan di hadapan PPAT,” cerita Hapendi.
Baca juga
Ahli Waris Persoalkan BPHTB untuk Pemisahan dan Pembagian Warisan
Pemohon Pertegas Alasan Uji Ketentuan BPHTB untuk Pemisahan dan Pembagian Warisan
UU HKPD Menyederhanakan Sistem Perpajakan dan Retribusi Daerah
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 117/PUU-XXI/2023 diajukan oleh seorang notaris bernama Budi Wibowo Halim. Pemohon menguji Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Rabu (4/10/2023) lalu, Pemohon bercerita bahwa dirinya telah menerima warisan, namun belum didaftarkan untuk peralihan hak ke kantor pertanahan karena belum mampu membayar bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap warisan yang diperolehnya. Pengaturan yang ada pada pasal tersebut pada pokoknya mengatur bea perolehan hak atas tanah terutang terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang berasal dari pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
Padahal pemisahan dan pembagian warisan dari seluruh ahli waris kepada satu atau lebih ahli waris (tidak semua ahli waris) bukanlah suatu bentuk peralihan hak, sehingga tidak termasuk pada bagian dari terutang BPHTB. Sebagai ahli waris secara konstitusional hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum pengenaan pajak BPHTB karena dikenakan BPHTB untuk pemisahan dan pembagian warisan yang seharusnya tidak BPHTB. Seharusnya Pemohon hanya dikenakan BPHTB Waris, namun karena ketidakjelasan rumusan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD, Pemohon justru berpotensi dikenakan BPHTB Waris dan BPHTB Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan hak. Akibatnya besaran pajaknya pun tidak berdasar dan menimbulkan persoalan-persoalan yang menyulitkan penerima waris.
“Kerugian konstitusional Pemohon tidak akan terjadi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 49 huruf b UU HKPD, sepanjang frasa “hibah wasiat” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dibaca sebagai “sedangkan untuk Hibah wasiat, pada tanggal didaftarkannya peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk hibah wasiat,” ucap Budi yang hadir sendiri secara langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.