JAKARTA, HUMAS MKRI – Pencantuman ambang batas maksimal bagi partai politik yang hendak mengajukan pencalonan presiden/wakil presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) adalah hal yang diperlukan. Hal tersebut sebagai upaya preventive justice dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden jika terjadi adanya kotak kosong atau pun adanya upaya aklamasi.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Cirebon Sarip yang dihadirkan oleh Gugum Ridho Putra sebagai Pemohon Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023. Keterangan sebagai Ahli Pemohon tersebut disampaikan Sarip dalam sidang lanjutan uji materiil UU Pemilu pada Selasa (23/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Adanya aturan Pasal 222 UU Pemilu yang menetapkan batas minimum tanpa adanya batas maksimum sebagaimana yang dikhawatirkan Pemohon dalam Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 atas Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu, sangatlah realistis apabila adanya batas maksimum koalisi dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden sebagai upaya preventive justice dalam Pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia dihadapkan pada kotak kosong atapun dengan cara aklamasi,” ucap Sarip dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Sarip mencontohkan fakta yang terjadi dalam Pilkada Tahun 2018 di Makassar. Dalam Pilkada Tahun 2018 tersebut, untuk pertama kalinya kotak kosong menang dalam pemilihan Wali Kota Makassar.
“(Peristiwa itu) dapatlah menjadi bahan pelajaran untuk memperhatikan aturan-aturan koalisi pada pencalonan presiden dan wakil presiden dengan mendudukkan hukum sebagai alat untuk memprediksi kejadian yang akan datang,” ujarnya.
Dalam keterangannya, Sarip juga menyampaikan koalisi partai politik di Indonesia telah menetapkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dekat dengan batas minimal. Yakni, persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. “Belum ada ketentuan terkait presidential treshold dengan batas maksimal, kemungkinan inilah sebagai penyebab Pemilu dihadapkan kotak kosong,” tambahnya.
Lebih jauh lagi, Sarip menambahkan apabila ditinjau dari segi teoritis hukum tata negara, konstitusi Indonesia menganut asas pembatasan kekuasaan atau konstitusionalisme. Sebuah asas yang menginginkan semua penyelenggaraan kekuasaan di dalam negara hukum agar dapat dibatasi supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan (abuse of power). Atas dasar itulah, jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi dalam masa jabatan yang tetap, yakni 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Dengan berlakunya asas itu pula, maka kekuasaan partai politik untuk bergabung (berkoalisi) mengusung capres cawapres dalam Pemilu tidak dapat dibiarkan tanpa batas. Atas dasar itu pemberlakuan treshold minimal 20% (dua puluh persen) tanpa batas maksimal jelas melanggar asas pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme).
“Kesulitan yang dihadapi memang belum ditemukan oleh ahli akan praktik koalisi pencalonan presiden dan calon wakil presiden dengan koalisi maksimum. Melihat gambaran hukum pidana dapatlah menjadi landasan kuat bahwa perlu adanya batasan koalisi maksimum untuk menjaga kedaulatan dan keadilan demokrasi Indonesia di tingkatan nasional,” terangnya.
Baca juga:
Menaikkan Nilai Ambang Batas Atas Capres-Cawapres
Advokat Uji UU Pemilu Perbaiki Permohonan
Pemerintah: Ambang Batas Presiden Perkuat Sistem Presidensial
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Gugum Ridho Putra selaku pemohon dalam persidangan mengungkapkan pihaknya menguji Pasal 222 UU Pemilu dengan batu ujinya dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dengan Pasal 6A ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, UU Pemilu telah mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peserta dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Selain mengatur syarat-syarat ketentuan Pasal 222 UU Pemilu terlebih juga telah mengatur syarat pencalonan yang diberlakukan bagi partai atau gabungan partai yang akan mengusung capres dan cawapres. Ketentuan pasal a quo menentukan syarat minimal atau batas bawah syarat pencalonan berupa kursi di DPR atau syarat suara sah.
Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang hanya mengatur syarat batas bawah pencalonan tanpa ada mengatur syarat batas atas pencalonan membuka kemungkinan partai-partai bergabung, mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa batas. Akibatnya ketentuan a quo berpotensi menyebabkan dua kondisi yakni menyebabkan gabungan parpol berpotensi dapat membentuk koalisi super dominan dan menyisahkan koalisi minoritas partai yang lebih kecil sehingga presiden dan wakil presiden diikuti oleh dua pasangan calon saja atau kedua menyebabkan munculnya potensi pemilihan capres dan cawapres dan hanya diikuti oleh pasangan calon saja atau capres atau cawapres tunggal. Apabila salah satu dari dua pasangan calon yang ada terutama koalisi minoritas sehingga dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan dari KPU.
Pemohon juga mendalilkan berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang tidak mengatur batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan. Sebab, ketiadaan batas itu menyebabkan gabungan partai-partai dapat mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa pembatasan sama sekali. Semakin banyak jumlah kursi atau suara yang dikumpulkan maka semakin besar pula potensi kekuasaan yang dimiliki oleh gabungan partai-partai membentuk koalisi super dominan sehingga potensi kesewenang-wenangan juga semakin besar terjadi.
Untuk itu, dalam petitumnya, Mahkamah diminta Pemohon menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserat Pemilu paling banyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling banyak 50% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha