JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI dan PP 22/2022 memberikan kepastian hukum dan jaminan pelindungan terhadap pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Haiyani Rumondang selaku Plt. Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja dari Kementerian Ketenagakerjaan RI dalam sidang ketiga perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 pada Senin (22/1/2024). Sidang permohonan yang diajukan Imam Syafi’i (Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan Ahmad Daryoko (Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia) dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan tujuh hakim konstitusi lainnya.
Lebih lanjut Haiyani menjelaskan, terkait dengan pelaporan keberangkatan, penempatan awak kapal, tahapan pelaksanaan dan integrasi data dalam PP 22/2022, justru menjadi bagian dari penguatan pelindungan dengan menyertakan data keberangkatan yang dilaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota maupun data kedatangan kepada perwakilan Indonesia yang dapat dilakukan secara daring atau luring. Selain itu, hal ini berhubungan dengan tahapan pelaksanaan penempatan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang dilakukan sesuai dengan prosedur. Gunanya, untuk mencegah adanya penempatan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan secara non-prosedural.
“Sehingga dari adanya penguatan pelindungan tersebut, tidak menjadikan prosedur yang membuat penempatan bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan berbelit-belit seperti yang didalilkan. Ditambah pula, adanya dalil para Pemohon yang mengaitkan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 PP 22/2022 menurut Pemerintah bukanlah persoalan konstitusional yang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi, sehingga terhadap dalil para Pemohon adalah tidak benar dan tidak beralasan hukum,” jelas Haiyani dalam sidang yang dihadirinya di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK Jakarta.
Sementara itu, terkait dalil para Pemohon terhadap Pasal 4 ayat (1) UU PPMI yang tidak mengategorikan pekerja migran berbasis darat dan pekerja migran berbasis laut, Pemerintah justru mendukung hal tersebut. Sebab, dengan adanya pengkategorian tersebut justru akan menimbulkan diskriminasi perlakuan. Terlebih lagi apabila ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPMI dihilangkan, hal tersebut berdampak pada hilangnya keadilan dan kepastian hukum dalam pemberian pelindungan bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.
Baca juga:
Pelaut Awak Kapal Perikanan Masuk Pekerja Migran, AP2I dan Agen ABK Keberatan
Visa Kerja Bebani Pelaut Indonesia
Sebagai tambahan informasi, MK pada Rabu (11/10/2023) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Permohonan Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini diajukan Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).
Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI menyatakan, “Pekerja migran Indonesia meliputi: … c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.” Menurut para Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Imam Syafi’i (Pemohon I) menilai akibat keberlakuan norma tersebut berdampak pada tumbang tindih regulasi dari beberapa tingkatan undang-undang, di antaranya UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan PP 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Dengan beralihnya kewenangan kementerian yang menyelenggarakan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sehingga jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.
Sementara bagi Ahmad Daryoko (Pemohon III) yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal, dirugikan pula atas ketentuan norma tersebut. Pemohon II wajib memiliki surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran sebagaimana ditentukan Pasal 72 huruf c UU PPMI. Akibat ketentuan ini, Pemohon II dikriminalisasi dengan telah ditetapkannya sebagai tersangka dan saat ini dalam proses penahanan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Selian itu, norma tersebut juga berpotensi merugikan Pemohon III dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal. Sebelumnya Pemohon III bekerja sama dengan agen awak kapal asing, baik dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik atau pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28| ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.