JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengonfirmasi kepada Pemohon terkait penyerahan perbaikan permohonan yang terlambat. Diketahui pada saat sidang pendahuluan, telah ditetapkan waktu penyerahan perbaikan permohonan hardcopy maupun soft copy yaitu tanggal 2 Januari 2024. Enny menyebut perbaikan permohonan baru disampaikan tanggal 4 Januari 2024.
Enny mengofirmasi hal tersebut dalam sidang pleno perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi sebagai wiraswasta, pada Rabu (17/01/2024). Djunatan Prambudi (Pemohon) mengujikan materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG).
“Kami sudah sampaikan pada waktu itu di persidangan pendahuluan yang terbuka untuk umum yaitu tanggal 2 Januari 2024 jam 09.00 WIB. Setelah kami cek perbaikan permohonan kami terima tanggal 4 Januari, nah ini kami juga sudah mengecek ke bagian penerimaan berkas yang terkait dengan email itu tidak terlacak ya, tidak ada bukti bahwa sudah di email pada tanggal yang telah ditetapkan batas waktunya,” jelas Enny dari Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK.
Enny menyarankan kepada Tejo Hariono selaku kuasa hukum Pemohon, agar menunjukkan bukti pengiriman dokumen bertanggal 2 Januari 2024 itu kepada Mahkamah. Meski demikian, permohonannya tetap diterima. Namun yang dianggap berlaku adalah permohonan sebelum dilakukan perbaikan dan persidangan tetap dilangsungkan.
“Jadi, begini, nanti Pak Tejo nanti kalau kemudian memang terbukti bahwa permohonan ini betul sebagaimana yang disampaikan… itu nanti kami akan terima permohonan yang terkait dengan perbaikan ini. Tetapi, kalau ternyata memang tanggal 4 Januari, maka yang kami akan periksa adalah permohonan awalnya. Coba Bapak screenshot nanti dikirim lagi ke kami,” sampai Enny kepada kuasa hukum pemohon Tejo Hariono.
Poin Perbaikan Permohonan
Pada poin perbaikan permohonan, Tejo Hariono menyampaikan beberapa tambahan di bagian Kewenangan Mahkamah Konstitusi. “Kami menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 2945 perubahan ketiga. Selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) perubahan keempat UUD NRI 1945, kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD 1945 diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekusaaan Kehakiman,” terang Tejo.
Tejo pun menegaskan permohonan Pemohon adalah pengujian Pasal 21 ayat (1) UU MIG. Selanjutnya pada bagian Alasan Permohonan, pihaknya telah juga telah melakukan perubahan secara keseluruhan sesuai syarat hak kerugian konstitutional.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Persamaan Merek dalam UU MIG
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta. Djunatan Prambudi (Pemohon) dalam permohonannya mengujikan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) digelar Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Selasa (19/12/2023), Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) UU MIG yang berbunyi, “Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Sedangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyebutkan, “Yang dimaksudkan dengan ‘persamaan pada pokoknya’ adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persamaan bunyi ucapan”.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak mengajukan gugatan pembatalan merek apabila adanya persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dimiliki merek orang lain atau justru lebih parah adanya pihak yang dirugikan akibat peniruan dalam penamaan merek, kemudian menggugat akan tetapi putusan tersebut ditolak oleh hakim, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini dialami Pemohon.
Pemohon pun mengungkapkan kasus konkret, yaitu adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGA.JKT.OST dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 PK/Pdt.Sus-HKI/2021. Dalam putusan tersebut permohonan gugatan yang dilakukan penggugat ternyata ditolak. Pihak yang bersengketa yaitu PUMA SE sebagai penggugat dan PUMADA sebagai tergugat.
Penggugat adalah pendaftar pertama di dunia dan pemilik yang sah atas merek PUMA dan variannya sudah diakui di seluruh dunia. Lebih lanjut PUMADA atas nama tergugat memiliki persamaan pada pokoknya atas keseluruhannya dengan merek PUMA dan variannya milik penggugat.
Setelah Majelis Hakim mencermati kedua merek tersebut dapat disimpulkan bahwa antara merek “PUMA” milik penggugat dengan merek dagang “PUMADA” milik tergugat terdapat daya pembeda. Perbedaan ada pada huruf “DA” tanpa spasi, adanya perbedaan susunan penulisan. Sehingga dengan adanya perbedaan tersebut maka timbul adanya perbedaan dalam hal tampilan, pengucapan, penempatan, maupun perbedaan bunyi ucapan sehingga merek-merek tersebut tidak dapat dikatakan memiliki persamaan pada pokoknya karena untuk membandingkan suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau tidak, merek yang diperbandingkan tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan atau satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dilihat secara satu persatu.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 21 ayat 1 UU MIG bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” untuk diubah menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”.
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.