INILAH.COM, Jakarta â Ada perbedaan mendasar antara uang negara dan keuangan negara. Uang negara adalah uang yang diterima negara dan dipertanggungjawabkan dalam APBN. Keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah untuk pelayanan umum.
Hal itu terungkap dalam perbincangan INILAH.COM dengan Soekoyo, Auditor Utama III Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Minggu (27/4) di Jakarta. Menurutnya, yang masuk dalam kategori uang negara adalah uang pajak dan penerimaan negara lainnya.
Perbincangan dengan Soekoyo menyoal keengganan Mahkamah Agung menyerahkan laporan keuangannya kepada BPK terkait uang perkara dari pihak ketiga. Berikut petikan wawancara dengannya.
Bagaimana kelanjutan audit BPK atas MA mengenai biaya perkara?
Pemeriksaan keuangannya sudah menjelang akhir, tapi belum dikeluarkan. Kita tunggu saja.
Kabarnya, BPK memberi tenggat waktu sampai akhir Mei 2008?
Ya, pemeriksaan BPK kan berakhir Mei-Juni. Setelah itu, baru laporan dipublikasikan ke luar.
Termasuk biaya perkara?
Lho, kalau itu diperiksa ya pasti dipublikasikan. Kalau nggak, ya apa yang bisa dipublikasikan? Kalau nantinya biaya perkara tetap tidak diperiksa karena nggak mau diperiksa, ya kami pun nggak bisa cerita.
Lantas, langkah apa yang akan ditempuh BPK?
Saya sebagai anggota tim pemeriksa akan melaporkan ke pimpinan. Belum tahu langkah apa yang akan diambil pimpinan nanti. Kalau melihat undang-undangnya, ini agak beda dengan Undang-Undang Pajak. Hambatannya memang karena ada undang-undang sehingga ada pembatasan yang boleh diperiksa BPK adalah A, B, C, D. Itu jelas sangat membatasi.
Khusus menyangkut biaya perkara, itu bukan karena undang-undang, melainkan karena memang pihak MA menafsirkan lain.
Alasan MA?
Uang titipan pihak ketiga yang berperkara, jadi bukan kooptasian keuangan negara dan karenanya nggak mau diperiksa.
BPK menganggapnya sebagai keuangan negara. Keuangan negara yang harus dipertanggungjawabkan oleh pihak lembaga yang menerima itu. Uang negara, sama keuangan negara beda. Di Undang-Undang Keuangan Negara ada pada pasal 2 butir H, pengertian keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka pelayanan umum.
Jadi, artinya memang berbeda ya?
Uang negara itu terdiri atas uang pajak dan uang-uang yang sudah masuk kas negara. Itu yang dipertanggungjawabkan dalam APBN kan?
Kalau keuangan negara adalah uang pihak ketiga yang dititipkan seperti uang haji. Orang yang naik haji kan bayar ke Departemen Agama. Itu bukan uang negara, tapi keuangan negara karena dikelola oleh aparatur pemerintahan.
Jadi, jika uang dari pihak ketiga itu dikorupsi atau dicuri, yang menyerahkan uang kan menuntut tetap perkaranya diurus atau yang mau naik haji tetap mau naik haji. Nah, otomatis untuk mengganti keberangkatannya kalau naik haji kan harus dari negara. Risiko dari pelayanan itu harus dipertanggungjawabkan karena itu keuangan negara.
Artinya, BPK sangat berhak memeriksa keuangan itu?
Ya. Pertama, harus dipertanggungjawabkan ke publik bahwa ia telah mengelola dan pihak ketiga yang dipercayakan ke lembaga itu untuk mengurus perkaranya (urusannya) serta mekanismenya lewat laporan keuangan.
Pertanggungjawaban itu bisa benar kalau sudah diaudit pihak eksternal. Sama dengan perusahaan. Jika dikelola secara benar, perusahaan harus diaudit akuntan publik.
Sampai saat ini MA belum meberikan laporan keuangan soal biaya perkara itu?
Di laporan keuangan 2006 nggak ada, 2007 dari laporan sebelum diaudit. Ringkasnya, pertanggungjawaban uang perkara itu belum ada.
Bagaimana dengan peraturan pemerintah tentang tata cara pengelolaan biaya perkara yang akan dikeluarkan presiden?
Ya, itu yang sejak dulu membuat BPK keberaratan. Sebab, tidak tegas-tegas diatur bahwa biaya proses penyelesaian perkara itu adalah bagian dari keuangan negara. Bagian keuangan negara yang harus dipertanggungjawabkan. Itu yang membuat MA keberatan. MA menganggap itu adalah dana titipan pihak ketiga. [I3]
Sumber www.inilah.com
Foto www.google.com