JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya Perkara Nomor 66/PUU-XXI/2023 atas pengujian materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Permohonan ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (16/1/2024).
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 memiliki makna selain memberikan pengakuan terhadap sejumlah Ketetapan MPR yang dianggap masih berlaku, juga memberikan penegasan bahwa MPR setelah perubahan sistem ketatanegaraan pasca-perubahan UUD 1945 sudah tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regelingen) dan berlaku mengikat keluar. Karena itu, menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 tidak dapat dikatakan memiliki makna yang bertentangan atau kontradiktif dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3.
Dia melanjutkan, apabila norma Pasal 7 ayat (1) UU P3 dipahami tanpa Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 sebagaimana dimohonkan Pemohon, jika Penjelasan norma tersebut dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum, maka hal tersebut justru akan menimbulkan persoalan konstitusional dan ketidakpastian hukum. Sebab, norma Pasal 7 ayat (1) UU P3 menempatkan Ketetapan MPR sebagai salah satu dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem perundang-undangan.
Sementara itu, kata Enny, untuk memahami norma Pasal 7 ayat (1) UU P3 tidaklah dapat dilepaskan dari Pasal 7 ayat (2) UU P3, yang menegaskan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya. Lebih lanjut, norma Pasal 7 ayat (2) UU P3 dinyatakan dalam Penjelasannya, bahwa “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘hierarki’ adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Artinya, konsekuensi yuridis norma Pasal 7 ayat (2) UU P3 dan Penjelasannya adalah Ketetapan MPR yang kemudian diletakkan di atas undang-undang akan memiliki kekuatan hukum yang secara hierarkis lebih tinggi dari undang-undang dan terhadapnya berlaku asas perjenjangan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, untuk menilai ketaatan pada asas penjejangan dimaksud, maka Ketetapan MPR seharusnya dapat diuji atau menjadi dasar pengujian.
Namun dengan merujuk pada ketentuan UUD 1945, baik Mahkamah Agung maupun MK tidak memiliki kewenangan menguji Ketetapan MPR (vide Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Berkenaan dengan tidak berwenangnya Mahkamah menguji Ketetapan MPR telah ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 24/PUU-XI/2013, Putusan MK Nomor 75/PUU-XII/2014, serta Putusan MK Nomor 59/PUU-XIII/2015.
“Penjelasan dalam Pasal a quo bukanlah suatu norma karena penjelasan dimaksud hanya memberikan penegasan terhadap Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 yang masih eksis karena sampai saat ini belum dilaksanakan sepenuhnya. Berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum di atas menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan anggapan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011 bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Enny.
Enny melanjutkan, meskipun tidak terdapat permasalahan konstitusional terhadap Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3, tetapi terdapat urgensi bagi pembentuk undang-undang untuk dapat menegaskan posisi dan keberlakuan Ketetapan MPR. Penegasan ini penting, Mahkamah berpendapat, Ketetapan MPR seharusnya tidak lagi menjadi bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
“Dengan demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan agar ke depan perubahan terhadap undang-undang yang mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, perlu menentukan dan memastikan keberadaan Ketetapan MPR tidak lagi menjadi bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,” ucap Enny.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sejumlah Ahli dan Saksi Sejarah Hadir Terkait Uji Aturan Kewenangan MPR
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU P3
Pendapat Berbeda
Di sisi lain, Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Ketua MK Suhartoyo menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya berpendapat, menghapus Penjelasan dimaksud tetap saja tidak akan menghilangkan ihwal persoalan hukum masuknya Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
“Karena itu, kami menghendaki menyatakan inkonstitusional Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011 dimaksud,” kata Saldi.
Saldi menuturkan, Ketetapan MPR seyogianya diletakkan sebagai ketentuan peralihan di dalam UU 12/2011 atau setidak kedudukannya diletakkan sejajar dengan undang-undang dan bukan di atas undang-undang. Hal ini juga diperkuat dengan adanya beberapa Ketetapan MPR yang telah dicabut materi muatannya telah dipindahkan ke dalam undang-undang. Dengan memosisikan Tap MPR sejajar dengan undang-undang, maka Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dapat diangkat menjadi norma dalam batang tubuh UU 12/2011.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, karena materi yang kami kabulkan tidak sama dengan yang dimohonkan Pemohon, seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonana quo untuk sebagian,” tutur Saldi.
Sebagai informasi, Pemohon mendalilkan, keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan (regeling) itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika mengalami krisis konstitusional. Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.