JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan ketetapan penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini disampaikan dalam sidang pengucapan ketetapan pada Selasa (16/1/2024).
“Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan Ketetapan Nomor 146/PUU-XXI/2023.
MK telah menerima permohonan pada 30 Oktober 2023 dari Heri Purwanto dan Bambang Barata Aji yang memberikan kuasa kepada Mursid Mudiantoro serta para advokat dan konsultan hukum pada kantor Law Office Mursyid, Santoso & Partners. Terhadap permohonan tersebut, MK telah menerbitkan Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 146.146/PUU/TAP.MK/Panel/11/2023 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023 bertanggal 20 November 2023.
Pada 29 November 2023, MK telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai ketentuan serta memberi kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Kemudian, pada 13 Desember 2023, MK telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, tetapi para Pemohon tidak hadir, meskipun sudah dipanggil secara sah dan patut.
Selanjutnya, MK menerima surat elektronik (email) dari para Pemohon bertanggal 13 Desember 2023 perihal Penarikan Permohonan Perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023. Terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon itu, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang tentang MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan, penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 18 Desember 2023 telah mengambil kesimpulan perihal pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023 beralasan menurut hukum. RPH memerintahkan Panitera MK untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.
Baca juga:
Syarat Usia Capres-Cawapres Digugat Lagi, Concurring Hakim Disoroti
Pemohon Tak Perbaiki Permohonan Uji Usia Capres-Cawapres
Sebagai tambahan informasi, persyaratan usia untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan kali ini diajukan oleh Heri Purwanto dan Bambang Barata Aji. Para Pemohon menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkenaan dengan persyaratan batas usia capres-cawapres.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan di MK pada Rabu (29/11/2023). Dalam persidangan, para Pemohon menyinggung alasan berbeda (concurring opinion) dua hakim pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
“Pendapat concurring itu apabila direlasikan dengan yang namanya amar, terjadi ketidaksinkronan. Idealnya pendapat kami di permohonan kami, sesuatu yang dikategorikan concurring oleh Profesor Enny adalah sebenarnya dapat dikategorikan dissenting,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mursid Mudiantoro dalam persidangan.
Mursid menjelaskan, terdapat perbedaan yang prinsip antara pertimbangan concurring dengan amar putusan. Jika pertimbangan concurring tetap menekankan syarat minimal 40 tahun atau pernah menjadi atau sedang menjadi Gubernur. Sedangkan dalam amar, pernah atau sedang menjabat jabatan yang akibat keterpilihan dalam Pemilu atau Pilkada.
Menurut para Pemohon, dalam pendapat concurring secara definitif telah melimitasi suatu syarat yang diarahkan kepada entitas gubernur. Sedangkan dalam amar meluas pada isu pemilu legislatif dan eksekutif dalam hal ini pilkada. Apabila dihubungkan dengan isu presidential threshold, maka kegunaan atas pembentukan norma dalam putusan a quo memperlihatkan keberpihakan atas putusan yang seharusnya bersifat erga omnes menjadi putusan yang bersifat individual dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada subjek hukum tertentu.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 Huruf q UU Pemilu sebagaimana yang ditafsirkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sepanjang “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun," bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian meminta MK menyatakan putusan a quo tidak bersifat eksekutorial.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.