JAKARTA, HUMAS MKRI – Komite Fatwa Produk Halal lahir untuk menjadi solusi atas kebutuhan percepatan jangkauan sertifikasi halal di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa sejak UU Cipta Kerja, cakupan sertifikasi halal ini berubah dari yang awalnya sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory). Hal ini menyebabkan target sertifikasi halal menjadi meningkat. Namun, jika tidak diantisipasi, maka akan menimbulkan kekacauan hukum dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Demikian disampaikan oleh Abu Rokhmad yang merupakan Staf Ahli Menteri Agama bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. Abu hadir dalam sidang lanjutan pengujian norma Pasal 48 angka 1, angka 19, angka 20 dan angka 32 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pada Selasa (16/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemerintah menjelaskan, dengan adanya Komite Fatwa Produk Halal, negara sama sekali tidak mengambil alih peran agama (ulama) dalam menetapkan kehalalan suatu produk. Negara justru menjamin, memastikan, dan mempermudah pelaku usaha dalam mendapatkan dan mengurus sertifikasi produk halal.
“Urusan halal tetap merupakan domain agama (ulama) dimana merekalah yang memegang otoritas dan menetapkan kehalalan suatu produk, baik ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal. Pemerintah berkeyakinan bahwa keberadaan Komite Fatwa Produk Halal tidak merubah paradigma hubungan negara dan agama dari paradigma simbiotik menjadi paradigma integralistik karena tidak ada penyatuan domain agama dan domain negara,” tegas Abu di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Abu menekankan, Pemerintah secara tegas menolak dalil Pemohon yang menyatakan bahwa keberlakuan pasal-pasal yang pada pokoknya berkutat pada keberadaan Komite Fatwa Produk Halal yang dianggap pengejawantahan peran negara yang mengambil peran agama. Pemerintah berkeyakinan bahwa dalil Pemohon tersebut salah dan tidak berdasar. Negara/Pemerintah dalam hal ini hanya melakukan proses administrasi berdasarkan fatwa halal ulama, sehingga tidak ada penyatuan domain antara negara dan agama (integrated) sebagaimana terjadi di negara integralistik.
“Pemerintah berkeyakinan bahwa dalil Pemohon tersebut salah dan tidak berdasar. Bahwa antara Komisi Fatwa Halal MUI dengan Komite Fatwa Produk Halal mempunyai area kerja dan kewenangan yang berbeda yang membuat keduanya sulit untuk beririsan, sehingga dapat dipastikan keduanya akan berjalan sesuai kewenangan masing-masing tanpa menimbulkan efek ketidakpastian hukum,” ungkap Abu.
Penetapan Fatwa Halal
Pemerintah juga sampaikan bahwa penetapan kehalalan produk baik di Komisi Fatwa MUI maupun di Komite Fatwa Produk Halal telah berada pada level dan kualifikasi yang sama yaitu dilakukan oleh ulama yang memiliki keahlian di bidang fatwa adapun peran negara hanya melakukan pengadministrasian atas fatwa yang dihasilkan baik oleh Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal. Selain itu, Pemerintah berkeyakinan bahwa dalil Pemohon yang seolah-olah menyatakan hanya ulama MUI yang berkapasitas melahirkan fatwa kehalalan produk adalah tidak tepat dan tidak adil.
“Seharusnya penentuan atas ulama yang berhak dan berwenang terhadap proses penentuan kehalalan produk didasarkan atas kemampuan dan kualifikasi ulama bersangkutan, bukan atas pertimbangan kelompok atau golongan,” urai Abu saat membacakan keterangan Pemerintah untuk Perkara Nomor 49/PUU-XXI/2023.
Menurut Abu, pengakuan kehalalan suatu produk dibuktikan dengan sertifikat halal yang diterbitkan oleh negara berdasarkan penetapan kehalalan produk oleh MUI atau Komite Fatwa Produk Halal, sehingga Pemerintah meyakini penetapan kehalalan Produk oleh Komite Fatwa Produk Halal tidak dapat dikategorikan dokumen hukum yang diterbitkan oleh negara yang dapat dijadikan objek sengketa TUN. Bagi Pemerintah terkait penetapan kehalalan produk adalah urusan halal yang merupakan domain agama (ulama) baik ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.
Kemudian, Abu menambahkan kehadiran unsur ulama dan akademisi dalam Komite Fatwa Produk Halal tersebut adalah bukti dari upaya Pemerintah menciptakan lembaga yang tidak menghilangkan esensi keagamaan namun tetap memiliki koordinasi yang kuat dan sinergis terhadap visi dan misi Pemerintah dalam melakukan percepatan sertifikasi halal (sesuai karakteristik negara simbiotik, antara agama dan negara terdapat ruang kerja sama namun tetap menyisakan ruang otonomi masing-masing).
“Sehingga maksud dari frasa ‘bertanggung jawab kepada Menteri’ yang ditanamkan kepada Komite Fatwa Produk Halal dalam Pasal 48 Angka 20 Pasal 33B ayat (1) U 6/2023 adalah bermaksud untuk memastikan koordinasi yang kuat dan sinergis antar lembaga dalam penyelenggaraan sertifikasi halal dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum secepat-cepatnya dan selas-luasnya kepada masyarakat yang sejalan dengan tujuan Pemerintah dalam percepatan sertifikasi halal khususnya untuk pelaku usaha mikro dan kecil,” urai Abu.
Penetapan Kehalalan Produk
Sedangkan mengenai penetapan kehalalan produk, Pemerintah berkeyakinan bahwa dalil Pemohon justru seolah-olah mendekati konsep negara integralistik dengan menjadikan objek sengketa TUN terhadap penetapan kehalalan produk yang merupakan domain agama (ulama). Antara Komisi Fatwa Halal MUI dengan Komite Fatwa Produk Halal memiliki peran dan kewenangan yang berbeda, keduanya tidak saling menegasikan dan menafikan sehingga di antara keduanya saling mengisi ruang sertifikasi halal. Dalam hal salah satunya dihapus, maka akan muncul ketidakseimbangan di dalam proses sertifikasi halal itu sendiri. Maka menjadi penting kemudian untuk mempertahankan posisi keduanya agar tujuan utama guna menuju Indonesia sebagai pusat industri halal dunia dapat terwujud.
Afirmasi Positif bagi Pelaku Usaha
Dikatakan Abu, dalam rangka percepatan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil dan mewujudkan Indonesia menjadi pusat industri halal dunia, Pemerintah membentuk terbosan hukum, afirmasi, dan kepastian hukum kepada pelaku usaha mikro dan kecil. Menurut Pemerintah, pembentukan Komite Fatwa Produk halal harus dipahami sebagai ikhtiar saling melengkapi, dalam melayani, dan merespons kebutuhan mendesak masyarakat. Industri khususnya pelaku usaha mikro dan kecil dalam pemenuhan kewajban bersertifikat halal sesuai tahapan kewajiban bersertifikat halal yang telah ditentukan dan masyarakat konsumen terhadap tersedianya produk yang aman dan terjamin kehalalannya, sehingga keberadaan Komite Fatwa Produk Halal menjadi strategis demi mewujudkan target Indonesia sebagai pusat industri halal dunia juga dalam rangka untuk memberikan afirmasi positif bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa keberadaan kehadiran Komite Fatwa Produk Halal penting untuk memberikan terobosan dan afirmasi positif atas pemberlakuan sertifikasi halal di Indonesia. Sehingga jikalau Komite Fatwa Produk Halal hilang, akan membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mencapai target Indonesia sebagai pusat industri halal dunia. Maka penting kemudian mempertahankan serta meningkatkan terobosan melalui salah satunya keberadaan Komite Fatwa Halal Produk.
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham saat membacakan keterangan Pemerintah untuk Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023. Aqil menegaskan terhadap dalil Pemohon yang ingin memaknai penetapan kehalalan produk MUI/Komite Fatwa Produk Halal dapat diajukan ke Pengadilan Agama hal itu bukan merupakan persoalan konstitusional norma yang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi, sehingga berdasarkan uraian tersebut tidak terdapat persoalan konstitusional dengan berlakunya ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU 33/2014 dan Pasal 48 angka 19 Pasal 33 ayat (5), Pasal 48 angka 20 Pasal 33A ayat (1) U 6/2023. “Dalam hal ini menurut Pemerintah sudah sepatutnya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tandasnya.
Baca juga:
Uji Konstitusionalitas Dua Lembaga Sertifikasi Halal
Upaya Hukum terhadap Fatwa Produk Halal
Pemerintah Belum Siap, MK Tunda Sidang UU Cipta Kerja
Sebelumnya, Rega Felix pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 mengujikan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Pasal 48 angka 19 dan 20 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 33A ayat (1) UU JPH. Rega Felix mendalilkan pelaksanaan sistem jaminan produk halal yang bersifat wajib atau mandatory memiliki potensi adanya sengketa hukum seperti sengketa terhadap sengketa terhadap penentuan nama produk halal yang halal atau tidak halal. UU JPH dan Cipta Kerja yang membentuk berbagai macam lembaga fatwa termasuk adanya MUI dan Komite Produk Halal meningkatkan potensi sengketa menjadi lebih tinggi.
Sementara Perkara Nomor 49/PUU-XXI/2023 diujikan oleh Indonesia Halal Watch yang dalam hal ini diwakili oleh Joni Arman Hamid selaku Ketua dan Raihani Keumala selaku Sekretaris. Pemohon menyampaikan adanya perubahan norma dan penambahan norma sehingga pasal-pasal ini sangat merugikan pemohon khususnya Indonesia Halal Watch. Dalam alasan permohonannya, pemohon menyebutkan, dengan pasal-pasal yang merupakan perubahan norma dan juga penambahan norma maka pemohon melihat bahwa telah ada pergeseran yang semula Indonesia itu menganut paradigma simbiotik maka telah terjadi menjadi paradigma integralistik sehingga karena itu pasal-pasal yang sebagaimana disebutkan di dalam permohonan itu adalah telah bertentangan dengan Pasal-Pasal 28D, Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2). (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina