JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945, kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (16/1/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara ini diajukan oleh Arwan Koty yang merupakan Terpidana Tindak Pidana Pengaduan Fitnah berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 897 K/Pid.Sus/2022 tanggal 29 September 2022. Pemohon dituntut vonis selama 6 bulan, namun sebelumnya menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) dan baru ditangkap pada 12 September 2023 lalu. Pemohon menguji dua pasal, yakni Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP. Adapun agenda sidang hari ini adalah mendengarkan perbaikan permohonan pemohon.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra tersebut, Pemohon melalui kuasa hukumnya mengatakan poin-poin yang diperbaiki terdapat pada kerugian konstitusional. “Dalam hal ini kami coba uraikan satu persatu poin pertama di halaman 7, 8, dan 9. Termasuk petunjuk dari Yang Mulia sebelumnya kami masukkan beberapa pasal terkait dengan proses penyidikan. Kemudian terkait dengan alasan-alasan permohonan uji materiil tidak terdapat perubahan,” terang Azwar selaku kuasa hukum.
Sementara petitum, Azwar menambahkan Pemohon MK mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 102 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan kecuali atas dasar surat penghentian penyidikan” dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan atau tertulis kecuali atas dasar Surat Penghentian Penyidikan”.
Baca juga: Menguji Aturan Penghentian Penyelidikan Melalui Surat Penghentian
Sebelumnya Pemohon menguji Pasal 102 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Serta Pasal 108 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan atau tertulis”.
Pemohon mengatakan pokok-pokok pengujian yang diajukan dalam permohonan ini adalah terkait dengan Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP.
Menurut Pemohon, permohonan ini diajukan karena terdapat perbedaan perlakuan didepan hukum atas dasar “Surat Penghentian Penyelidikan” yang mengakibatkan Pemohon ditetapkan sebagai Terpidana. Selama ini belum pernah ada seseorang yang diproses hukum atas dasar surat tersebut atau ditindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justicia) apabila laporan polisi dihentikan setelah penyelidikan, kecuali pada tahap penyidikan, atau setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar laporan pengaduan fitnah. Sehingga Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya apabila bentuk penegakan hukum tersebut hanya terjadi dan belaku bagi Pemohon.
Pemohon telah diproses penegak hukum padahal atas dasar surat penghentian penyidikan sehingga pemohon dihukum enam bulan dengan kualifikasi tindak pidana pengaduan fitnah. Selain itu, berdasarkan prinsip-prinsip penegakan hukum dan perlindungan HAM yang telah dinyatakan oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 34/PUU-XI/2023 tanggal 6 Maret 2014, dapat disimpulkan ketentuan Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP tidak sesuai dengan prinsip due process of law dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.