JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi Kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K), pada Senin (15/01/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang untuk perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 kali ini yakni mendengar keterangan dua orang saksi yang dihadirkan oleh Idris, dkk selaku Pihak Terkait. Dua saksi dimaksud yakni Dekarno dan Hasraman.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh hakim lainnya, Dekarno bercerita tentang kondisi masyarakat Desa Mosolo, Kabupaten Konawe Kepulauan. Kehidupan masyarakat Mosolo menggantungkan hidupnya pada hasil perkebunan dan nelayan. Hasil kebun cengkeh, jambu mete, pala, menjadi tumpuan masyarakat Masolo dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk membiayai pendidikan anak-anaknya yang menempuh Pendidikan tinggi di Kendari, Makassar, Yogyakarta, termasuk saksi sendiri yang berkesempatan kuliah di Fakultas Hukum salah satu universitas di Yogyakarta.
Kehidupan masyarakat Mosolo yang menggantungkan hidupnya pada hasil perkebunan dan nelayan, terganggu/terusik ketika pada 2008 perusahaan tambang Bumi Konawe Mini (PT BKM) masuk di Pulau Wawonii tepatnya di Desa Mosolo, desa tempat tinggal saksi sejak lahir. “Kehadiran perusahaan tersebut menimbulkan gejolak di masyarakat dan 100% masyarakat Mosolo menolak kehadiran perusahaan tambang tersebut. Pada sekitar Agustus 2008 masyarakat marah dan melakukan demo besar-besaran, sehingga perusahaan angkat kaki dari Desa Mosolo hingga saat ini. Cerita ini saya melihat langsung bawah warga berkumpul di rumahnya kakek saya Bapak Firman dan pada waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 3 SMP,” Kisahnya.
Dekarno melanjutkan, pada 2018 PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) masuk di Kecamatan Wawonii Tenggara, Desa Sukarela Jaya. Kedatangan perusahaan tersebut tidak diterima oleh masyarakat Desa Sukarela Jaya. Kemudian pada 3 Maret 2022, PT GKP melakukan penerobosan dan penggusuran lahan/kebun milik Ibu Saharia dan La Dani di Desa Sukarela Jaya, tanggal 4 Maret 2022.
Menurut Dekarno, kehadiran PT GKP saat ini melahirkan perpecahan di masyarakat Desa Mosolo. Padahal sebelumnya, hubungan sesama masyarakat sangat erat dan kuat. Mereka saling bantu membantu dan bekerjasama karena berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kehadiran tambang PT GKP (Gema Kreasi Perdana), telah memicu terjadinya konflik sosial yang sangat merusak hubungan keluarga, merusak hubungan sesama saudara kandung. Hubungan bapak dan anak menjadi retak, dan tidak bertegur sapa, suami-istri bercerai karena berada pada posisi yang berbeda. Suami yang pro tambang ingin menjual lahannya, sementara istri kontra/penolak ingin mempertahankan lahannya untuk tidak dijual ke perusahaan tambang PT.GKP.
“Masyarakat yang kontra/penolak PT GKP ketika mengadakan pesta nikahan ataupun ditimpa musibah seperti kematian sudah tidak saling mengunjungi lagi, mereka sudah tidak saling membantu dan itu terjadi hingga sekarang. Parahnya lagi, masyarakat penolak tambang dituduh sebagai pengacau dan perusuh, dituduh menghalang-halangi kegiatan pertambangan. Padahal sesungguhnya masyarakat penolak hanya mempertahankan tanaman cengkehnya agar tidak digusur karena tanaman cengkeh tersebut sudah memberikan kehidupan sejak puluhan tahun lalu,” tegas Dekarno.
Sumber Pendapatan Masyarakat Terancam
Saksi berikutnya, Hasraman menyebut keakraban masyarakat Desa Roko-roko mulai terusik ketika perusahaan tambang mulai masuk sekitar tahun 2018-2019. Perusahaan tambang yang coba masuk di pulau Wawonii tidak hanya PT GKP, tetapi juga perusahaan lain, antara lain PT. Derawan Berjaya Mining, dan PT. Bumi Konawe Mining.
“Awalnya masyarakat di sana menolak keras kehadiran kegiatan pertambangan di sana, termasuk saksi sendiri dan juga saksi yang diajukan oleh Pemohon atas nama Marlion dan Bapak Abarudin. Alasan utama masyarakat menolak kehadiran tambang tersebut, terutama karena kegiatan pertambangan tersebut akan menggusur lahan perkebunan masyarakat sebagai mata pencaharian utama dan akan mencemari atau merusak habitat laut dan mengganggu nelayan dalam mencari ikan,” terang Hasraman.
Ia mengatakan, masyarakat berpandangan bahwa dengan masuknya tambang maka sumber pendapatan jangka panjang seperti hasil pertanian jambu mete, cengkeh, kelapa dan pala akan terancam jika tambang beroperasi. Masyarakat desa Roko-roko tahu dan sadar betul bahwa hanya hasil pertanian-lah yang mampu bertahan lama baik saat ini ataupun ke depanya untuk memenuhi keberlanjutan ekonomi masyarakat.
“Masyarakat selalu mempertimbangkan terkait dampak ke depanya. Apabila ada pertambangan di atas gunung Desa Roko-roko, maka keberlanjutan kehidupan mereka akan terancam, terutama berkaitan dengan sumber mata air masyarakat yang berada tepat di bawah lokasi yang akan dijadikan wilayah pengelolaan pertambangan. Oleh karena itu Masyarakat menolak hadirnya pertambangan,” lanjutnya.
Meskipun mendapat penolakan dari masyarakat, sambungnya, PT GKP terus berupaya mendekati masyarakat agar dapat mengelola pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya di Desa Roko-Roko. PT GKP melalui perwakilannya terus mempengaruhi masyarakat dan bahkan mengancam dan menakut-nakuti masyarakat yang mempertahankan kebunnya.
Tidak hanya itu, ungkap Hasraman, PT GKP juga mengajak beberapa anggota Masyarakat, termasuk saksi Marlion melakukan studi banding di Maluku Utara untuk melihat kegiatan pertambangan di Obi. Sekembalinya dari Maluku Utara, mereka ditugaskan oleh PT GKP untuk membujuk Masyarakat lain untuk bergabung dengan perusahaan dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan, mulai dari tawaran gaji, pangkat serta lahan kebun masyarakat akan dibeli dengan harga fantastis.
Baca juga:
Menguji Aturan Larangan Penambangan Mineral Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Perihal Pengelolaan Wilayah Pesisir
Hak Masyarakat Adat pada Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Aktivitas Pertambangan di Pulau Wawonii Merusak Keharmonisan dan Kohesi Sosial
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 35/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana (PT GKP) yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). Pemohon merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK. Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil. Padahal Pemohon telah memiliki ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan UU tersebut dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha di bidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon. Padahal perusahaan-perusahan tambang telah melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.