JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 156/PUU-XXI/2023 tidak memperbaiki permohonan. Perkara ini diajukan seorang jaksa sekaligus pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Jovi Andrea Bachtiar (Pemohon I) bersama seorang konsultan hukum dan pengamat hukum tata negara Universitas Riau Alfin Julian Nanda (Pemohon II). Keduanya menggugat ketentuan mengenai persyaratan usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Tidak (memperbaiki permohonan) Yang Mulia,” ujar kuasa hukum para Pemohon Ryzky Yan Deriza mengonfirmasi pertanyaan Ketua Majelis Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang perbaikan permohonan pada Senin (15/1/2024).
Para Pemohon kemudian menyampaikan kembali petitum yang dimohonkan pada sidang tersebut. Dalam provisinya, para Pemohon meminta MK menyatakan Hakim Konstitusi Anwar Usman dilarang ikut memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan ini karena terdapat konflik kepentingan (conflict of interest).
Para Pemohon juga meminta MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena kondisi force majeur atas terjadinya pelanggaran prinsip hukum yang diatur dalam Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman oleh Anwar Usman, untuk menunda pelaksanaan pilpres sampai dikeluarkannya putusan akhir terhadap permohonan ini dan ditindaklanjuti dengan Peraturan KPU demi kepastian hukum. Selain itu, para Pemohon meminta MK memerintahkan KPU karena kondisi force majeur untuk mengulang kembali dari awal penyelenggaraan pilpres mulai dari pendaftaran capres cawapres demi kepastian hukum dan sebagai upaya pencegahan adanya permasalahan hukum berkelanjutan ditinjau dari aspek hukum ketatanegaraan.
Sementara dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 untuk dimaknai menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau telah pernah menyelesaikan masa jabatan minimal satu periode penuh sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Sebagai informasi, polemik batas usia capres dan cawapres berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hakim Konstitusi Arief didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic F. Poekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memeriksa perkara ini. Usai persidangan ini, permohonan perkara ini akan dibawa dan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim