JAKARTA, HUMAS MKRI – Rega Felix yang berprofesi sebagai advokat memperbaiki permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dua permohonan yang dimohonkannya diperbaiki sesuai dengan saran hakim dalam sidang pendahuluan, yakni Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023 dan 153/PUU-XXI/2023. Terutama Perkara Nomor 153/PUU-XXI/2023, yang sebelumnya hanya menguji dua pasal, yakni Pasal 15 ayat (2) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf d, menjadi tiga pasal dengan menambahkan Pasal 26 ayat (1) huruf b UU MK.
Sebelumnya, dalam Perkara Nomor 153/PUU-XXI/2023, Pemohon menilai bahwa dirinya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi hakim konstitusi sebagaimana yang telah dilindungi oleh Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945, Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 karena Pemohon merupakan alumni fakultas hukum khususnya jurusan HTN yang berprofesi sebagai advokat jadi linear dengan syarat hakim konstitusi. Namun, karena syarat usia minimum hakim konstitusi sering diubah-ubah menjadi semakin tinggi—saat ini 55 tahun, tanpa dasar rasionalitas yang jelas menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon.
Rega yang hadir langsung dalam persidangan mengemukakan sejumlah perbaikan, di antaranya perbaikan mengenai pokok-pokok petitum permohonan. Dalam pokok permohonan yang menguji Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 23 ayat (1) huruf d, dan Pasal 26 ayat (1) huruf b UU MK, Pemohon berargumentasi dengan adanya Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017, Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022, hingga Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 sebaiknya Mahkamah tidak berlindung di balik open legal policy semata.
“Andaikan Mahkamah hendak melakukan judicial avoidance dan menyatakan bahwa menentukan usia minimum hakim konstitusi adalah open legal policy, maka Mahkamah harus membuktikan secara logika dan konstitusional jika Pembentuk UU menetapkan salah satu usia berikut: 41, 43, 47, 53, 59, 61, 67, 71, 73, 79, 83, 89, 97 semuanya adalah konstitusional dan kita harus menerima itu apa adanya, sehingga terbukti dalam semua kondisi kewenangan Pembentuk UU bersifat refleksif,” ujar Rega dalam sidang yang digelar pada Senin (15/1/2024).
Dalam perbaikannya, Pemohon juga berharap permohonan ini beserta alat-alat bukti dibaca secara seksama dengan niat untuk mencari kebenaran yang bersifat akademis untuk kepentingan konstitusional bagi bangsa dan negara. Mengingat putusan MK bersifat erga omnes, Pemohon berharap permohonan ini tidak dikaitkan dengan kepentingan politik praktis. Pemohon juga berharap tidak dilakukan berbeda dengan pemohon dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 maupun permohonan lainnya yang serupa sebelumnya. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 membuktikan ketika DPR dan Presiden menyerahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada Mahkamah berimplikasi kepada beralihnya kewenangan Mahkamah dalam memberikan alternatif norma. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon berharap Mahkamah juga mempelakukan hal yang sama dengan menerapkan Pasal 54 UU MK karena keterangan pemberi keterangan sangat substansial mempengaruhi putusan. Pemohon menggunakan basis konstruksi berpikir yang serupa dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga jika diperlakukan berbeda dapat memunculkan ketidaklaziman.
Baca juga: Uji Konstitusionalitas Batas Usia Hakim Konstitusi
Aturan Meminta Keterangan
Sedangkan untuk Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023, Rega tetap menguji Pasal 54 UU MK. Pemohon memperbaiki petitum agar Mahkamah menyatakan Pasal 54 UU MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, dengan pengecualian, jika terdapat kondisi kerugian konstitusional bersifat aktual, ada hubungan sebab akibat secara langsung antara norma yang diuji dengan kerugian konstitusional, dan norma yang diuji belum pernah diuji sebelumnya, maka Mahkamah Konstitusi menjadi wajib meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden."
Sebelumnya, Rega sebagai Pemohon sedang mengalami kasus aktual yang sedang diujikan di MK dengan sifat kerugian konstitusional yang aktual. Pemohon sudah meminta bantuan jawaban dari pembentuk UU terhadap permasalahan Pemohon, tetapi tidak/belum digubris oleh Pembentuk UU—dalam hal ini DPR. Padahal DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya menjawab pengaduan/aspirasi/persoalan yang dihadapi rakyatnya secara khusus yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Akibat dari tidak jelasnya kata “dapat” dalam Pasal 54 UU MK menjadikan perkara Pemohon berpotensi diputus tanpa proses hukum yang fair, sehingga kasus Pemohon akan terus menggantung dan pembentuk UU terbebas dari tanggung jawab untuk memberikan keterangan. Dengan demikian, sifat kerugian konstitusional Pemohon berdasarkan penalaran yang wajar adalah potensial. (*)
Penulis: Fauzan Febriyan
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina