JAKARTA, HUMAS MKRI – Wartawan senior Bambang Harymurti yang menjadi ahli Pemohon dalam Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 mengatakan, penerapan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana membahayakan kelangsungan kehidupan demokrasi, terutama menyangkut hak konstitusional warga untuk menyampaikan informasi kepada publik. Karena itu, menurut Bambang, Mahkamah Konstitusi sepatutnya menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak lagi berlaku.
“Bahaya penerapan Undang-Undang ini pada kelangsungan kehidupan demokrasi bangsa terutama menyangkut hak konstitusional warga untuk menyampaikan informasi kepada publik termasuk hak konstitusi saya ketika didakwa dengan Pasal 14 ini dua dekade silam,” ujar Bambang yang juga merupakan ahli Dewan Pers dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/12/2023).
Saat menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Tempo pada 2004 silam, Bambang divonis satu tahun penjara atas kasus pencemaran nama baik. Meskipun pada akhirnya Mahkamah Agung menggugurkan vonis yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta dan Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan bahwa Undang-Undang Pers adalah lex spesialis atau aturan khusus di atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain alasan di atas, ada satu alasan lagi menurut Bambang untuk menyatakan norma-norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Alasan ini terkait sejarah turunnya UU 1/1946 yang merupakan produk hukum transisi di zaman darurat, sehingga tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang yang sudah dalam keadaan normal.
“Bahkan beberapa pasal undang-undang ini menjadi mencederai hak konstitusi setiap warga karena konstitusi kita telah diamendemen,” kata Bambang yang juga merupakan anggota Wakil Ketua Lembaga Pembentukan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kursi Jabatan Tak Berperasaan
Dalam persidangan kali ini, Pemohon juga menghadirkan Fernando M. Manullang sebagai ahli. Fernando menjelaskan, subjek dalam hukum adalah subjek yang diberikan hak dan kewajiban oleh kekuasaan yang sah. Pemberi kekuasaannya (organ hukum) menurut Hans Kelsen adalah fictie. Kekuasaan seperti ini dalam pandangan Hägerström adalah di luar diri manusia. Kekuasaan itu tidak riil karena kekuasaan tersebut tidak psikologis. Subjek dan organ hukum dalam perspektif Hägerström adalah sama-sama nihil karena tak memiliki emosi.
Implikasinya, lanjut Fernando, bagaimana mungkin suatu subjek hukum berupa jabatan yang dianggap nihil oleh Hägerström memiliki perasaan? Dengan kata lain, dia mempertanyakan, bagaimana mungkin orang-orang yang datang dan pergi, duduk di suatu - kursi - jabatan, mengeklaim telah merasa dihina, padahal kursi yang diduduki oleh pejabat tersebut, jelas-jelas tak punya perasaan?
“Jika ada seorang pejabat tak mampu melihat bahwa konsep hukum yang ilmiah telah membawa ide keadilan, termasuk hukum, keluar dari diri kita, yang berakibat seperti menghilangkan insight dalam keadilan, termasuk hukum, dan kemudian mengatakan bahwa dirinya sebagai pejabat terhina, saya dapat memberikan suatu praduga: si pejabat tersebut telah berpretensi memiliki kursi – jabatan – tersebut. Ada prafrasa untuk itu: kursi – jabatan – sehati dengan si pejabat pribadi, vice versa,” kata Fernando.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
MK Tunda Sidang Ketentuan Pidana dalam UU ITE
Saksi Pemohon Ungkap Proses Penangkapan dan Postingan di Twitter dalam Sidang MK
Ahli Soroti Potensi Bahaya Berita Hoaks dan Keterbatasan Pasal Terkait Kebebasan Berpendapat
Keterangan para ahli tersebut di atas, disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 ihwal pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara; KUHP; dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal yang diuji, yakni Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 310 ayat (1) KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK, menyatakan pasal-pasal di atas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pemohon perkara ini ialah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pengujian UU ini berkaitan dengan kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melibatkan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti. Bahkan dalam provisinya, para Pemohon meminta MK memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan nomor 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim sampai adanya putusan perkara ini.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha