JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 150/PUU-XXI/2023 meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengembalikan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) seperti aslinya sebelum dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, para Pemohon berharap, pasal tersebut berbunyi, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sepanjang frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” inkonstitusional secara bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”,” ujar kuasa hukum Pemohon, Reza Setiawan dalam sidang perbaikan permohonan pada Selasa (19/12/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon beralasan terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang melanggar Pasal 17 ayat (4), (5), dan (6) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga harus dilakukan pengujian materiil kembali terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dengan adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan Hakim Konstitusi Anwar Usman telah melanggar kode etik berat serta komposisi hakim yang setuju, menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion), dan pendapat berbeda (dissenting opinion), maka Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya memeriksa kembali pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Menurut para Pemohon, hal tersebut dilakukan agar tidak ada lagi hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran kode etik berat di kemudian hari. “Makna Pasal 169 huruf q UU Pemilu harus dikembalikan sebagaimana isi pasal sebelum Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata dia.
Para Pemohon meyakini dasar dan alasan pengujian yang diajukan ini berbeda atau tidak bersifat ne bis in idem dengan Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang sudah diputus sebelumnya terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, kata para Pemohon, sudah sepatutnya MK menyatakan ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 inkonstitusional secara bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena cacat prosedural.
Baca juga:
Putusan MK Soal Syarat Usia Capres-Cawapres Dinilai Cacat Prosedural
Sebagai tambahan informasi, persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) diuji kembali di MK. Permohonan diajukan oleh dua advokat, Lamria Siagian dan Ridwan Darmawan, serta dua mahasiswa, R D Ilham Maulana dan Asy Syifa Nuril Jannah. Dalam permohonan perkara dengan Nomor 150/PUU-XXI/2023, para Pemohon menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Selasa (05/12/2023) Para Pemohon menyebutkan, amar putusan atau penafsiran MK terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah melanggar hukum acara MK. Selain itu, terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) saat pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana disebut dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, Pasal 17 Ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.”
Kemudian dalam Pasal 17 Ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”
Lalu, Pasal 17 Ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Muruah MK
Menurut para Pemohon, tindakan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang saat mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 masih menjabat Ketua MK, patut diduga telah melanggar Pasal 17 ayat (4), (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman dalam memeriksa dan memutus perkara dan secara otomatis tidak lagi memenuhi kualifikasi persyaratan yang disebutkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Kuasa hukum para Pemohon, Janses E Sihaloho, mengatakan sudah sepatutnya MK menyatakan ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 karena cacat prosedural. Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 sepanjang frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.