JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (19/12/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 84/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw.
Semula agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Presiden, akan tetapi berdasarkan laporan dari Kepaniteraan MK pemerintah meminta penundaan persidangan.
“Ini ahlinya belum siap atau bagaimana?” tanya Ketua MK Suhartoyo kepada wakil Pemerintah.
Subkoordinator Bidang Politik, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan II Kementerian Hukum dan HAM Surdiyanto mewakili Pemerintah menyebut semula Pemerintah hendak menghadirkan dua orang Ahli, namun menjadi satu orang Ahli. Untuk itu, Pemerintah meminta penundaan sidang.
“Kemudian karena ini akhir tahun, kami kesulitan untuk mempersiapkan. Jadi, kita belum siap secara administratif sehingga kami minta ditunda. Dan kemarin kami sudah firm ya, ketemu dengan ahli ya, kita akan menghadirkan Prof. Ahmad Ramli, Yang Mulia, dan beliau juga sudah siap. Tetapi karena secara administrasi kita enggak bisa memenuhi, kita meminta ditunda,” terang Surdiyanto.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MK Suhartoyo menegaskan MK akan memberitahu lebih lanjut pelaksanaan sidang penundaan keterangan Ahli Presiden.
Baca juga:
Aquarius Musikindo Perbaiki Kedudukan Hukum
Tak Dapat Tuntut Penyedia Platform yang Langgar Hak Cipta, Aquarius Musikindo Mengadu ke MK
Perlindungan Karya Cipta Indonesia Meratifikasi Perjanjian Internasional
Ahli: Perubahan Teknologi Dapat Pengaruhi Sistem Bisnis Musik
Sebagai Informasi, PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Pemohon mendalilkan berdasarkan dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis User Generate Content (UGC).
Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait.
Pemohon menilai UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina