JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian soal persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), Senin (18/12/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan diajukan oleh lima orang warga yang berprofesi sebagai Advokat dan Konsultan hukum.
Agenda sidang kali ini yakni pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 148/PUU-XXI/2023. Kuasa hukum para Pemohon, Sigit Nugroho Sudibyanto, dalam persidangan mengatakan sudah berusaha maksimal dalam mencermati Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023. Para Pemohon juga sudah menuangkan nasihat panel hakim pada sidang perdana yang digelar Senin (04/12/2023) ke dalam perbaikan permohonan yang dibacakan pada sidang kedua ini.
Baca juga:
Panel Hakim Menilai Uji Usia Capres-Cawapres Sama dengan yang Diputus MK
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 148/PUU-XXI/2023 diajukan oleh empat warga kota Surakarta bernama Fatikhatus Sakinah, Gunadi Rachmad Widodo, Hery Dwi Utomo, Ratno Agustio Hoetomo, dan satu warga Kabupaten Sukoharjo bernama Zaenal Mustofa. Para Pemohon mempersoalkan persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Para Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat dan Konsultan hukum ini menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Berdasarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi “Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (04/12/2023), kuasa hukum para Pemohon, Sigit Nugroho Sudibyanto menjelaskan, pasal tersebut pada frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, adalah bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sesuai Pasal 28D ayat (1) juncto pasal 27 ayat (1), juncto Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”. Para Pemohon menilai pasal tersebut merugikan para Pemohon secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi karena pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tersebut.
“Pasal tersebut memunculkan pertanyaan, bahwa memang tidak terdapat indikator yang objektif dalam menentukan seseorang telah dinyatakan matang berpengalaman, namun dalam penalaran yang wajar seorang gubernur dengan populasi penduduk dan kompleksitas permasalahan lebih matang dan berpengalaman dari seorang bupati/walikota yang mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres,” terang Sigit secara daring melalui Video Conference Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam Sidang Panel yang dipimpin Wakil MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Adanya pemaknaan yang berbeda-beda, menimbulkan ketidakpastian hukum apabila dilihat dari legitimasi amar putusan atas frasa yang telah dimaknai oleh MK tersebut. Sederhananya, melalui permohonan ini, para Pemohon menginginkan hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang dapat mengajukan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Atas dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ““yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”. Sehingga pada petitumnya pemohon memohon bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi, “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi.”
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.