JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945. Sidang Perkara Nomor 158/PUU-XX/2023 ini digelar pada Senin (18/12/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara ini diajukan oleh Arwan Koty yang merupakan Terpidana Tindak Pidana Pengaduan Fitnah berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 897 K/Pid.Sus/2022 tanggal 29 September 2022. Pemohon dituntut vonis selama 6 bulan, namun sebelumnya menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) dan baru ditangkap pada 12 September 2023 lalu. Pemohon menguji dua pasal, yakni Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP.
Pemohon menguji Pasal 102 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan”. Serta Pasal 108 ayat (1) KUHAP menyatakan, “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan atau tertulis”.
Persidangan tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, yakni Azwar mengatakan pokok-pokok pengujian yang diajukan dalam permohonan ini adalah terkait dengan Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP.
“Adapun yang menjadi kerugian konstitusional terkait dengan berlakunya pasal ini yang kami anggap bertentangan dengan due process of law termasuk tidak memberikan kepastian hukum terhadap pemohon yang mana terkait dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” terangnya.
Menurut Pemohon, permohonan ini diajukan karena terdapat perbedaan perlakuan didepan hukum atas dasar “Surat Penghentian Penyelidikan” yang mengakibatkan Pemohon ditetapkan sebagai Terpidana. Selama ini belum pernah ada seseorang yang diproses hukum atas dasar surat tersebut atau ditindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justicia) apabila laporan polisi dihentikan setelah penyelidikan, kecuali pada tahap penyidikan, atau setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai dasar laporan pengaduan fitnah. Sehingga Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya apabila bentuk penegakan hukum tersebut hanya terjadi dan belaku bagi Pemohon.
“Pemohon telah diproses penegak hukum padahal atas dasar surat penghentian penyidikan sehingga pemohon dihukum enam bulan dengan kualifikasi tindak pidana pengaduan fitnah,” tegasnya.
Selain itu, berdasarkan prinsip-prinsip penegakan hukum dan perlindungan HAM yang telah dinyatakan oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 34/PUU-XI/2023 tanggal 6 Maret 2014, dapat disimpulkan ketentuan Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP tidak sesuai dengan prinsip due process of law dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil.
“Pasal 102 ayat (1) KUHAP, kami anggap kalau bicara proses penyidikan dia hanya mencari pada persoalan mencari dan untuk menemukan peristiwa pidana. Artinya kalau proses dihentikan pada tahap penyidikan maka belum ada peristiwa pidana disana. Kemudian belum ada kerugian, belum ada upaya paksa,” terang Azwar.
Atas alasan-alasan tersebut Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “kecuali atas dasar Surat Penghentian Penyelidikan”.
Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan walaupun pemohon belum pernah mengajukan permohonan ke MK, tetapi sistematika permohonan telah mengikuti PMK.
“Tinggal substansi yang nanti anda pertebal, saudara pertajam. Saudara pertajam nanti mulai dari kewenangan MK, tinggal Pasal 102 dan 108 nanti tolong munculkan. Pilihannya disitu sebelum kedudukan hukum saudara masukan substandi dari Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1). Kemudian diajukan batu ujinya Pasal 1 ayat (3) dan seterusnya tadi saudara munculkan jadi mencarinya gampang itu. Nanti ditulis disini ya,” sebut Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyarankan Pemohon untuk melakukan pendalaman mengenai kerugian yang dialami Pemohon.
“Apakah betul dengan dialami pemohon merupakan kerugian konstitusional atau problem implementasi. Hal ini penting karena MK bukan merupakan peradilan norma seperti kasus konkrit. Oleh karena itu, nasihat kepada pemohon untuk menguraikan lebih jelas mengenai bentuk kerugian,” terangnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut Pemohon harus dapat membedakan penggunaan pasal-pasal UUD untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional. Penggunaan pasal-pasal dalam UUD sebagai dasar pengujian.
“Kalau untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional itu cari pasal dalam UUD yang menyangkut hak konstitusional warga negara. Misalnya, hak atas kepastian hukum yang adil, hak persamaan dihadapan hukum. Nah itu yang digunakan sebagai dasar untuk mengatakan ada prinsipal anda mengalami kerugian konstitusional. Tapi dasar pengujian itu pasal yang Anda uji dikontes dengan pasal dasar pengujian,” ujar Saldi kepada kuasa pemohon.
Sebelum menutup persidangan Saldi mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Tenggat waktu penyerahan perbaikan permohonan Pemohon menjadi Selasa, 2 Januari 2024. Berkas perbaikan permohonan diterima MK paling lambat pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.