JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) bertujuan untuk meningkatkan penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam kesempatan memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Keberadaan UU HKPD juga menyederhanakan sistem perpajakan, yang meliputi penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak, dan cara pembayaran pajak. Sehingga diharapkan beban pajak akan semakin adil dan wajar serta mendorong wajib pajak melaksanakan dengan sadar kewajiban membayar pajak.
Demikian keterangan Pemerintah/Presiden yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pada Selasa (12/12/2023). Sidang ketiga untuk Perkara Nomor 117/PUU-XXI/2023 yang diajukan Budi Wibowo Halim ini, dipimpin langsung Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Luky menjabarkan sejarah pengelolaan keuangan negara tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah daerah dengan prinsip otonomi daerah yang tertuang dalam Pasal 18A ayat (1) UUD 1945. Hak untuk mengatur ini, diikuti dengan pengaturan desentralisasi fiskal untuk mencapai tujuan bernegara yakni masyarakat adil dan makmur secara merata. Pajak daerah, sambung Luky, adalah kebijakan desentralisasi fiskal yang mencerminkan nilai demokrasi. Sebagai wujud dari peran serta masyarakat, maka diwajibkan membayar BPHTP yang hasilnya dimanfaatkan pemerintah daerah untuk membangun sarana dan prasarana serta kepentingan umum daerah tersebut.
“Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, pajak BPHTP menjadi salah satu jenis pajak daerah yang berkontribusi besar untuk pendapatan daerah. Sehingga, adanya pengujian undang-undang ini akan berdampak pada pemerintah daerah apabila permohonan Pemohon dikabulkan,” sampai Luky.
Wewenang Pemda
Sehubungan dengan dalil Pemohon mengenai adanya ketidakkonsistenan implementasi pasal yang diujikan yang berakibat adanya dua kali pengenaan BPHTB karena proses pendaftaran dilakukan dua tahap tersebut tidak membuktikan pengaturan pasal tersebut bermasalah. Sebab permasalahan yang terjadi dalam proses pendaftaran tanahnya, sedangkan pengenaan BPHTB oleh pemerintah daerah mengikuti tindakan hukum yang menjadi objek pajak pengenaan BPHTB yang terjadi selama proses pendaftaran tanah tersebut oleh Pemohon. Intinya, subjek hukum yang mendapatkan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pihak lain dalam sertifikat yang sama, wajib membayar BPHTB atas sejumlah hak yang diterimanya tersebut. Sehingga permasalahan ketidakmampuan membayar BPHTB Waris yang dialami Pemohon, sama sekali tidak disebabkan oleh Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 UU HKPD.
“Sementara tentang adanya penafsiran yang dilakukan dinas pendapatan daerah yang mengenakan BPHTB Waris untuk pendaftaran peralihan hak dari atas nama pewaris ke seluruh ahli waris dan BPHTB Pemisahan Hak yang mengakibatkan Peralihan merupakan persoalan implementasi norma dan tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa pada dasarnya mengenai pengaturan pengenaan pajak sesuai Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 UU HKPD sepenuhnya menjadi kewenangan daerah untuk melakukan pengaturan dan pemungutan pajak daerah tersebut,” jelas Luky.
Baca juga
Ahli Waris Persoalkan BPHTB untuk Pemisahan dan Pembagian Warisan
Pemohon Pertegas Alasan Uji Ketentuan BPHTB untuk Pemisahan dan Pembagian Warisan
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 117/PUU-XXI/2023 diajukan oleh seorang notaris bernama Budi Wibowo Halim. Pemohon menguji materiil Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7, dan Pasal 49 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Rabu (4/10/2023) lalu, Pemohon bercerita bahwa dirinya telah menerima warisan, namun belum didaftarkan untuk peralihan hak ke kantor pertanahan karena belum mampu membayar bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap warisan yang diperolehnya. Pengaturan yang ada pada pasal tersebut pada pokoknya mengatur bea perolehan hak atas tanah terutang terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang berasal dari pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
Padahal pemisahan dan pembagian warisan dari seluruh ahli waris kepada satu atau lebih ahli waris (tidak semua ahli waris) bukanlah suatu bentuk peralihan hak, sehingga tidak termasuk pada bagian dari terutang BPHTB. Sebagai ahli waris secara konstitusional hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum pengenaan pajak BPHTB karena dikenakan BPHTB untuk pemisahan dan pembagian warisan yang seharusnya tidak BPHTB. Seharusnya Pemohon hanya dikenakan BPHTB Waris, namun karena ketidakjelasan rumusan Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 7 dan Pasal 49 huruf b UU HKPD, Pemohon justru berpotensi dikenakan BPHTB Waris dan BPHTB Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan hak. Akibatnya besaran pajaknya pun tidak berdasar dan menimbulkan persoalan-persoalan yang menyulitkan penerima waris.
“Kerugian konstitusional Pemohon tidak akan terjadi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 49 huruf b UU HKPD, sepanjang frasa “hibah wasiat” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dibaca sebagai “sedangkan untuk Hibah wasiat, pada tanggal didaftarkannya peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk hibah wasiat,” ucap Budi yang hadir sendiri secara langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.