JAKARTA, HUMAS MKRI – Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menunda berlakunya ketentuan persyaratan usia minimal calon presiden dan wakil presiden (capres cawapres) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini dimohonkannya dalam provisi Perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023 terkait pengujian formil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Jadi tidak berlaku sejak putusan itu dibacakan, mengapa demikian, karena memang itu yang kami rasa penting salah satu tujuan dari permohonan ini untuk mengembalikan moralitas konstitusionalitas kita,” ujar Denny yang juga politikus Partai Demokrat dalam persidangan perbaikan permohonan yang diikutinya melalui daring pada Senin, (11/12/2023).
Menurut mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) itu, berlakunya persyaratan usia minimal capres cawapres sebagaimana telah dimaknai Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi problematik. Sebab, kata dia, terdapat calon yang sejatinya tidak memenuhi syarat tetapi lolos sebagai peserta pemilihan presiden (pilpres) 2024 usai putusan tersebut.
Selain itu, para Pemohon meminta MK menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Kemudian, dia pun meminta MK memeriksa permohonannya secara cepat dan tidak meminta keterangan MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya serta mengecualikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023.
Sementara dalam pokok permohonannya, para Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon juga meminta MK memerintahkan penyelenggara pemilu mencoret peserta pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu akibat telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan ini dengan tidak menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Selain Denny, pemohon lainnya dalam Perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023 ialah Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar. Menurut keduanya, MK memiliki dua fungsi peraturan perundang-undangan yakni sebagai negative legislature dan positive legislature. Negative legislature dalam hal MK menyatakan sebuah norma dalam UU bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan positive legislature dalam hal MK menyatakan konstitusional atau inkonstitusional sebuah norma dengan cara membuat norma baru. Biasanya hal ini dilakukan dengan memaknai pasal tertentu dalam undang-undang atau pasal yang diuji.
Kuasa hukum para Pemohon, Muhamad Raziv Barokah mengatakan, permohonan yang diajukan sangat unik karena merupakan uji formil terhadap sebuah norma UU yang telah dimaknai MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023. Sebab, kata dia, permohonan tersebut tidak lazim dalam kerangka konsep hukum yang legalistik.
Di samping itu, Raziv menuturkan, satu yang harus didalami secara serius adalah bagaimana MK menempatkan dirinya pada konsep judicial activism vs judicial restraint. Jika judicial restraint dianggap keinginan Mahkamah untuk lebih menahan diri dan hanya menegakkan hukum yang ada, maka judicial activism adalah keinginan MK untuk lebih aktif, termasuk untuk masuk ke ranah yang lebih luas dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
“Kami mengutip Pasal 24 ayat (1) UUD dan 28D ayat (1) UUD 1945, di kedua pasal tersebut Yang Mulia, hukum itu atau kewenangan daripada kekuasaan kehakiman itu tidak hanya sekadar menegakkan hukum semata, tapi juga menegakkan hukum dan keadilan. Begitu juga dengan di Pasal 28D bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya perlu sebatas dijamin hak hukumnya, tetapi juga dijamin adalah hak hukum yang adil,” kata dia. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha