JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar Mahkamah Konstitusi pada Rabu (11/10/2023). Permohonan telah diregistrasi MK sebagai Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 dimana Pemohon merupakan seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra. Pemohon mempersoalkan norma Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Dalam persidangan, Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kementerian Dalam Negeri La Ode Ahmad Pidana Bolombo menegaskan urgensi dari ambang batas presiden memperkuat sistem presidensial serta penerapan ambang batas presiden dalam pemilu dapat figur presiden dan wakil presiden serta dukungan yang kuat. Hal ini karena memiliki basis dukungan besar di parlemen sehingga pelaksanaan pemerintahan akan stabil dan efektif.
Dalam kondisi ini dapat memperkuat sistem presidensial yang dianut bangsa Indonesia sehingga membuat kinerja presiden sebagai eksekutif lebih efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
“Penerapan presidential threshold adalah demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Jika syarat itu diterapkan, maka memungkinkan presiden dan wakil presiden terpilih diusulkan oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen. Jika hal ini terjadi, maka kemungkinan besar presiden sebagai lembaga eksekutif akan mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahan karena berpotensi mendapatkan dari koalisi mayoritas di parlemen,” ucap La Ode.
La Ode menambahkan ambang batas pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu sebagai syarat pasangan calon diusulkan pasangan calon partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memilih persyaratan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% kursi dari suara sah nasional pada pemilu yang demokratis, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Maka pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan pada rakyat pemilih yang berdaulat. Hal ini membuktikan bahwa partai yang diusulkan jadi presiden dan wakil presiden mendapat dukungan yang luas dari rakyat sebagai pemilih. Hal ini merupakan dukungan awal sedangkan dukungan sesungguhnya akan ditentukan dari hasil pemilu presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, terhadap calon presiden dan wakil presiden yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden dari sejak awal pencalonan didukung oleh rakyat melalui partai politik memperoleh tambahan dukungan melalui pemilu presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Menaikkan Nilai Ambang Batas Atas Capres-Cawapres
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Gugum Ridho Putra selaku pemohon dalam persidangan mengungkapkan pihaknya menguji Pasal 222 UU Pemilu dengan batu ujinya dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dengan Pasal 6A ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, UU Pemilu telah mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peserta dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Selain mengatur syarat-syarat ketentuan Pasal 222 UU Pemilu terlebih juga telah mengatur syarat pencalonan yang diberlakukan bagi partai atau gabungan partai yang akan mengusung capres dan cawapres. Ketentuan pasal a quo menentukan syarat minimal atau batas bawah syarat pencalonan berupa kursi di DPR atau syarat suara sah.
Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang hanya mengatur syarat batas bawah pencalonan tanpa ada mengatur syarat batas atas pencalonan membuka kemungkinan partai-partai bergabung, mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa batas. Akibatnya ketentuan a quo berpotensi menyebabkan dua kondisi yakni menyebabkan gabungan parpol berpotensi dapat membentuk koalisi super dominan dan menyisahkan koalisi minoritas partai yang lebih kecil sehingga presiden dan wakil presiden diikuti oleh dua pasangan calon saja atau kedua menyebabkan munculnya potensi pemilihan capres dan cawapres dan hanya diikuti oleh pasangan calon saja atau capres atau cawapres tunggal. Apabila salah satu dari dua pasangan calon yang ada terutama koalisi minoritas sehingga dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan dari KPU.
Pemohon juga mendalilkan berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang tidak mengatur batas pencalonan presiden dan wakil presiden itu bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan. Sebab, ketiadaan batas itu menyebabkan gabungan partai-partai dapat mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa pembatasan sama sekali. Semakin banyak jumlah kursi atau suara yang dikumpulkan maka semakin besar pula potensi kekuasaan yang dimiliki oleh gabungan partai-partai membentuk koalisi super dominan sehingga potensi kesewenang-wenangan juga semakin besar terjadi.
Untuk itu, dalam petitumnya, Mahkamah diminta Pemohon menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserat Pemilu paling banyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling banyak 50% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha