JAKARTA, HUMAS MKRI – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang diturunkan dari kedudukannya sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi periode 2015 – 2020 I Dewa Gede Palguna dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) pada Kamis (7/12/2023). Palguna hadir dalam sidang kesepuluh sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jika yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah kewenangan membuat ketetapan yang diturunkan dari konstruksi pemikiran perihal kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, dan lembaga tertinggi negara, maka jawabannya adalah tidak," ujar Palguna di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.
Palguna yang juga anggota MPR dari Utusan Daerah periode 1999-2004 itu menjelaskan, sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dasar pemberian kewenangan MPR untuk mengeluarkan ketetapan diturunkan dari konstruksi pemikiran bahwa MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kemudian, Pasal 3 UUD 1945 juga menyatakan, “MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara.”
Selanjutnya, Palguna mengatakan, sejarah mencatat, dengan menafsirkan ketentuan Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan, MPR Sementara (MPRS) untuk kali pertama mengeluarkan ketetapan yaitu Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Sejak saat itulah lahir praktik ketatanegaraan di mana MPRS maupun MPR mengeluarkan ketetapan-ketetapan, baik yang bersifat regeling (pengaturan) maupun beschikking (keputusan).
Setelah dilakukan perubahan UUD 1945 yang dimulai 1999, terjadi perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjadi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan terhadap kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat maupun lembaga tertinggi negara.
Palguna melanjutkan, dengan perubahan itu maka telah terjadi pula perubahan mendasar pada sistem ketatanegaraan Indonesia yang semula memberlakukan prinsip supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Sementara itu, penjelasan undang-undang yang prima facie tampak memuat norma baru (sehingga tidak sesuai dengan ilmu dan teknis perundangan-undangan) tetapi sesungguhnya justru melaksanakan amanat dalam UUD 1945 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Palguna, MK sepenuhnya memiliki kewenangan menentukan syarat konstitusional terhadap ketentuan demikian tanpa harus terjebak menjadi positive legislature. Misalnya, dengan memberikan pertimbangan kepada pembentuk undang-undang untuk memindahkan substansi yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 ke dalam norma pasal dalam UU P3.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sejumlah Ahli dan Saksi Sejarah Hadir Terkait Uji Aturan Kewenangan MPR
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU P3
Ahli Berhalangan Hadir, Sidang UU Pembentukan Perundang-Undangan
Perkara Nomor 66/PUU-XXI/2023 itu diajukan Partai Bulan Bintang (PBB), yang diwakili Yusril Ihza Mahendra sebagai ketua umum dan Afriansyah Noor sebagai sekretaris jenderal. Pemohon mendalilkan, amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan di UUD 1945, membuat perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat, “lembaga tertinggi negara”, dan penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan, keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan (regeling) itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme usai peristiwa pemberontakan G30S/PKI pada 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan MPRS pada 1967.
Ketiga, MPR membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan.
Ketetapan ini dijadikan dasar untuk Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitusional di hadapan pimpinan Mahkamah Agung. Hal ini terjadi ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter 1998.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.