JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi pada Kamis (7/12/2023) di Lantai 10 Gedung 1 MK, Jakarta Pusat. Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono mengatakan, melalui FGD ini pihaknya ingin mendapatkan potret di lapangan terkait pelaksanaan putusan.
“Paling tidak kita mendapatkan potret sebetulnya putusan majelis hakim dalam satu perkara tertentu itu seperti apa, setelah diketok, setelah diputus itu seperti apa (implementasinya),” ujar Fajar dalam sambutannya.
Fajar menegaskan, pemantauan dan evaluasi putusan bukan merupakan kewenangan konstitusional MK. Akan tetapi, kata Fajar, pihaknya sebagai supporting system perlu mendapatkan informasi dari berbagai pihak terkait implementasi putusan MK yang kemudian dapat disampaikan kepada pimpinan sekaligus para hakim konstitusi.
Fajar berharap, para narasumber dapat memberikan berbagai informasi terkait penerapan atau pelaksanaan putusan Mahkamah pada tataran implementasi secara sesungguhnya. Dia meyakini, dalam tataran implementasi putusan MK tentu terjadi dinamika yang luar biasa.
Sebelumnya, MK sudah menyelenggarakan dua FGD dengan tema yang sama. FGD berkaitan dengan putusan mengenai kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), anak di luar nikah, pernikahan antarpegawai/karyawan dalam satu kantor yang sama, keterlibatan DPR dalam perjanjian internasional, ganja medis, serta fidusia.
Sosialisasi Putusan MK
Dalam kesempatan FGD sesi I, MK mengundang sejumlah narasumber yang berkaitan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022. Narasumber dimaksud antara lain, Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak sekaligus sebagai Pemohon, Wakil Ketua Umum DPN PERADI Saor Siagian, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI) Patra M Zen, serta Surdiyanto dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 ini berkaitan dengan masa jabatan pimpinan organisasi advokat yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menyatakan, pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Menurut Zico, tidak ada sense of belonging oleh adresat (orang yang terpengaruh produk hukum) atas putusan tersebut karena adanya Pasal 54 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi putusan MK yang mengakibatkan sering kalinya masyarakat tidak mengetahui putusan-putusan MK.
“MK memang tidak mempunyai kewenangan sosialisasi dan ini saya rasa menjadi kajian karena untuk menambah kewenangan ini tidak perlu dengan mengubah Undang-Undang, sosialisasi kan suatu yang wajar sebenarnya, dengan Peraturan MK saja bisa dilakukan,” kata Zico.
Self-Executing
Di sisi lain, Surdiyanto mengatakan, Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 tidak perlu ada tindak lanjut putusan karena putusan ini bisa langsung dilaksanakan. Putusan ini pun bersifat self-executing, artinya putusan yang tidak mengganggu sistem norma yang ada, sehingga tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut.
“Putusan itu tidak menimbulkan kekosongan hukum sehingga putusan yang bersifat self-executing tidak perlu ditindaklanjuti,” tutur dia.
Baca juga:
Bappenas Ungkap Implementasi Putusan MK
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Nur R.