JAKARTA, HUMAS MKRI – Persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) diuji kembali di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan diajukan oleh dua advokat, Lamria Siagian dan Ridwan Darmawan, serta dua mahasiswa, R D Ilham Maulana dan Asy Syifa Nuril Jannah.
Dalam permohonan perkara dengan Nomor 150/PUU-XXI/2023, para Pemohon menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sidang perdana untuk memeriksa permohonan tersebut dilaksanakan pada Selasa (05/12/2023) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta.
“Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan untuk menguji kembali (re-judicial review) Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh para Pemohon ini, meskipun telah pernah dilakukan beberapa kali pengujian dan telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karena syarat-syarat konstitusionalitasnya yang menjadi alasan permohonan para Pemohon berbeda dengan perkara-perkara sebelumnya,” ujar kuasa hukum Pemohon, Ecoline Situmorang dalam persidangan.
Konflik Kepentingan
Menurut para Pemohon, amar putusan atau penafsiran MK terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah melanggar hukum acara MK sekaligus mengakibatkan keadaan di lingkungan masyarakat menjadi gaduh, terguncang, dan mencoreng MK sebagai lembaga yang mengawal konsitusi. Selain itu, terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) saat pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana disebut dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, kata Pemohon, Pasal 17 Ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.”
Kemudian dalam Pasal 17 Ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”
Lalu, Pasal 17 Ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Muruah MK
Para Pemohon mengingatkan, Pasal 24C Ayat (5) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mensyaratkan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Menurut para Pemohon, tindakan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang saat mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 masih menjabat Ketua MK, patut diduga telah melanggar Pasal 17 ayat (4), (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman dalam memeriksa dan memutus perkara dan secara otomatis tidak lagi memenuhi kualifikasi persyaratan yang disebutkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
“Dan untuk menjaga marwah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mengawal konstitusi, maka para Pemohon mohon kepada para Hakim Mahkamah Konstitusi agar melakukan pemeriksaan dan memutus perkara a quo dengan tidak mengikutsertakan Prof. Dr. Anwar Usman, SH, MH, sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo,” kata Ecoline.
Kuasa hukum para Pemohon, Janses E Sihaloho, mengatakan sudah sepatutnya MK menyatakan ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 karena cacat prosedural. Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 sepanjang frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Panel Hakim
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihatnya mengingatkan para Pemohon untuk membaca Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023. Sebab, kata Wahid, dalil-dalil yang disampaikan para Pemohon Perkara Nomor 150/PUU-XXI/2023 kurang lebih persis seperti dalil Pemohon dalam Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023.
“Apa-apa yang didalilkan oleh Pemohon ini sudah dijawab di Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023 itu. Mengenai supaya perkara untuk pengujian UU terkait dengan usia ini Hakim Konstitusi Anwar Usman tidak dilibatkan juga sudah, itu diputus dan dibacakan oleh delapan hakim konstitusi. Jadi, hal-hal semua itu sudah dilaksanakan,” tutur Wahid.
Selain itu, Wahid juga mengingatkan, re-judicial review bisa dipadankan dengan ne bis in idem karena dasar pengujiannya sama yakni Pasal 1 dan 28D Ayat 3 UUD 1945. Wahid menyarankan agar hal-hal demikian diperhatikan para Pemohon.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.