JAKARTA, HUMAS MKRI – Persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan kali ini diajukan oleh empat warga kota Surakarta bernama Fatikhatus Sakinah, Gunadi Rachmad Widodo, Hery Dwi Utomo, Ratno Agustio Hoetomo, dan satu warga Kabupaten Sukoharjo bernama Zaenal Mustofa.
Para Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat dan Konsultan hukum ini menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Berdasarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi “Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sesaat setelah membuka persidangan Perkara Nomor 148/PUU-XXI/2023, Wakil Ketua MK Saldi Isra bertanya kepada para Pemohon soal permohonan yang yang diajukan. “Saudara sudah mendengar Putusan 141 tahun 2023 (Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023), sudah dibaca putusannya? Karena kami lihat permohonannya sudah ada dalam putusan sebelumnya. Tapi kami tidak bisa melarang karena hak saudara (untuk mengajukan permohonan),” kata Saldi dalam sidang yang digelar pada Senin (04/12/2023) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
“Yang kami baca memang dari laman detik.com dan hanya baca amarnya saja, Yang Mulia. Karena dasar pertimbangan konstitusionalitas berbeda perkara 141 dengan perkara kami, kami tetap ingin melanjutkan (permohonan ini),” jawab Fadhil Mansyurudin kuasa hukum para Pemohon, dalam sidang daring melalui Video Conference Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hanya Gubernur
Fadhil menjelaskan, pasal tersebut pada frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, adalah bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sesuai Pasal 28D ayat (1) juncto pasal 27 ayat (1), juncto Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”. Para Pemohon menilai pasal tersebut merugikan para Pemohon secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi karena pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tersebut.
“Pasal tersebut memunculkan pertanyaan, bahwa memang tidak terdapat indikator yang objektif dalam menentukan seseorang telah dinyatakan matang berpengalaman, namun dalam penalaran yang wajar seorang gubernur dengan populasi penduduk dan kompleksitas permasalahan lebih matang dan berpengalaman dari seorang bupati/walikota yang mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres,” terang Fadhil dalam Sidang Panel yang dipimpin Wakil MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Adanya pemaknaan yang berbeda-beda, menimbulkan ketidakpastian hukum apabila dilihat dari legitimasi amar putusan atas frasa yang telah dimaknai oleh MK tersebut. Sederhananya, melalui permohonan ini, para Pemohon menginginkan hanya gubernur yang belum berusia 40 tahun yang dapat mengajukan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Atas dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ““yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”. Sehingga pada petitumnya pemohon memohon bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi, “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi.”
Nasihat Hakim
Ketua Panel Saldi Isra dalam nasihati para Pemohon atau kuasanya agar menyebutkan pemohon untuk membaca Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023. Menurut Saldi, apa yang dimaksudkan oleh para Pemohon, sudah ada di putusan tersebut.
“Tolong baca putusan 141 karena sudah ada di situ semua. Kapan putusan mulai berlaku, apa maknanya 40 tahun itu, baik elected official, public official,” kata Saldi menasihati.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengingatkan jika permohonan tetap dilanjutkan, para Pemohon atau kuasanya akan mempunyai tugas yang berat untuk memperbaiki permohonan.
“Perlu saudara jelaskan karena Pasal 169 huruf q itu harus benar perihalnya karena saudara mempersoalkan Pasal 169 huruq q telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan 90 dan seterusnya. Itu kemudian diputus kembali dalam putusan 141. Salah satu batu uji (perkara 141) sama dengan batu uji saudara, dan saudara harus bisa menguraikan di mana letaknya perbedaan antara yang dimohonkan dengan batu ujinya,” terang Enny.
Berikutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan catatan nasihat tentang misi yang diinginkan Pemohon sejatinya sudah terakomodir pada Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023. Wahidudin juga menasihati para Pemohon agar memahami dengan seksama putusan 141 tersebut. Setelahnya Wahiduddin mempertanyakan apa yang akan di uji dalam permohonannya “Mestinya para pemohon mempertimbangkan apakah yang diuji norma pasal 169 huruf q UU Pemilu atau Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Harus bisa diuraikan frasa tambahan tersebut. Maka pemohon harus mendalilkan mengapa MK harus memeriksa permohonan saudara,” jelas Wahiduddin Adams.
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.