JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemeriksaan perkara peninjauan kembali oleh MA, meskipun bersifat mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, namun bukan berarti MA melaksanakan fungsi sebagai peradilan yang memeriksa fakta-fakta hukum seperti kewenangan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Dalam memeriksa perkara peninjauan kembali tersebut, MA memeriksa perkara yang bersifat lanjutan, yang berasal dari peradilan pada semua tingkatan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam Sidang Pengucapan Putusan yang menyatakan menolak terhadap uji materiil Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Pasal 253 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Rabu (29/11/2023).
Terhadap perkara 122/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Asep Muhidin (Pemohon I), Rahadian Pratama Mahpudin (Pemohon II), dan Asep Ahmad (Pemohon III) ini, secara jelas Manahan menjabarkan bahwa pemeriksaan yang dilakukan hakim peninjauan kembali hanya terbatas memeriksa surat saja, khususnya terkait dengan memori dan kontra memori peninjauan kembali. Sementara dalam hal memeriksa perkara peninjauan kembali dengan alasan adanya bukti baru, maka bukti baru yang dibenarkan hanya terbatas pada surat-surat bukti yang bersifat menentukan. Artinya pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan bukti tersebut dan terhadap penemuan surat-surat bukti (baru) tersebut setelah diserahkan oleh pemohon peninjauan kembali pada peradilan tingkat pertama yang memeriksa perkara tersebut. Dan oleh peradilan tingkat pertama yang menerima permohonan peninjauan kembali tersebut, juga dilakukan penyumpahan terhadap pihak yang menemukan bukti baru tersebut pada persidangan yang terbuka untuk umum. Kemudian untuk selanjutnya, berkas permohonan peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada MA untuk dilakukan pemeriksaan (peninjauan kembali).
“Dengan demikian Mahkamah melihat tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang menghendaki agar persidangan perkara peninjauan kembali di MA dihadiri oleh para pihak dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Mahkamah tidak dapat menerima alasan Pemohon yang berpendapat, pemeriksaan perkara peninjauan kembali dapat menghasilkan validitas di dalam memeriksa bukti baru apabila diverifikasi oleh para pihak dan publik. Sementara kewajiban hadir di persidangan perkara peninjauan kembali, selain berdampak adanya beban biaya yang sangat berat bagi pencari keadilan yang harus hadir di MA, juga akan berdampak semakin menumpuknya jumlah perkara dan terhambatnya penyelesaian perkara di MA,” sebut Manahan dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan tujuh hakim konstitusi lainnya.
Tata Cara Pemeriksaan Perkara
Selanjutnya, tentang dalil Pemohon yang menginginkan pemeriksaan persidangan perkara pada peradilan tingkat banding untuk dilakukan dengan dihadiri para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, Mahkamah berpendapat hal demikian telah terakomodir dalam norma undang-undang yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding. Sebagaimana diuraikan dan dibenarkan Pemohon dalam permohonannya, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang berlaku untuk Wilayah Jawa dan Madura, norma tersebut pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pengadilan tinggi untuk melakukan pemeriksaan ulangan dan memutuskan dengan tiga hakim dan jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri kedua belah pihak atau saksi.
“Tanpa mewajibkan pada pemeriksaan peradilan tingkat banding dengan menghadirkan para pihak dan saksi-saksi jika telah dipandang cukup oleh hakim banding yang bersangkutan dan telah dapat memutus perkara secara adil, maka tidak ada urgensi untuk mengakomodir dalil Pemohon. Justru apabila dilakukan akan mengingkari asas peradilan, cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang diinginkan Pemohon berkaitan dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali,” urai Manahan.
Baca juga:
Menyoal Konstitusional Aturan Sidang Kasasi
Advokat, Asisten Dosen, dan Wartawan Sempurnakan Dalil Aturan Sidang Kasasi
Sebelumnya, Pemohon I berprofesi sebagai advokat, Pemohon II berprofesi sebagai asisten dosen di Sekolah Tinggi Hukum Garut, dan Pemohon III berprofesi sebagai wartawan yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam memperjuangkan keadilan apabila dianggap perlu, pihaknya tentu akan mengajukan permohonan Kasasi kepada MA atas putusan sebelumnya yang dianggap kurang adil. Namun pada kenyataan di lapangan, para Pemohon mendapati, MA baik untuk pemohonan kasasi atau peninjauan kembali tidak pernah ditemukan adanya permintaan keterangan dan penjelasan oleh hakim agung yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan. Bahkan tidak pernah ada putusan yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana termuat dalam Pasal 40 ayat (2) UU MA beserta Penjelasannya.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Para Pemohon. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (1) UU MA, Pasal253 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan Asas Kepastian Hukum. “Menyatakan frase ‘... hanya jika dipandang perlu ...’ dalam Pasal 50 ayat (1) UU MA tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai ‘wajib’ sehingga bunyi Pasal 50 ayat (1) menjadi “Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan ‘wajib’ Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina