JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 38 dan 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (28/11/202). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 39/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh 10 serikat pekerja yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa-Bali, dan 109 perseorangan lainnya.
DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Supriansa menyampaikan, pemaknaan yang membatasi badan usaha milik negara dimaksud hanya PT PLN (Persero) justru akan mempersempit pemajuan bidang usaha ketenagalistrikan dan bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang dibutuhkan sekarang. Padahal saat ini, lanjutnya, Pemerintah sedang berfokus pada upaya peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha melalui keterlibatan banyak pihak.
“Penguasaan oleh negara tidak berarti menutup peluang badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik lainnya untuk memajukan kondisi ekonomi. Sehingga pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) dapat berupa badan usaha selain PT PLN Persero tentunya masih dibolehkan sepanjang tetap dalam kendali negara (Pemerintah),” terangnya di hadapan Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Kemudian, sambung Supriansa, DPR RI juga perlu menerangkan bahwa pembentuk undang-undang tetap memposisikan badan usaha milik negara sebagai prioritas utama dan mengutamakan potensi dalam negeri. Frasa “dikuasai oleh negara” juga menjadi bagian dalam konsep demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 apabila mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-l/2003 tanggal 21 Desember 2004 halaman 208 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012.
Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan pendapat dari Bagir Manan dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 49 Nomor 3 tanggal 21 September 2019, yang menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan dasar konstitusional dari Hak Menguasai Negara (HMN) atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. “Hak menguasai negara” yang didasarkan atas konstitusi tersebut “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Supriansa menambahkan Pemerintah menjamin penjualan kelebihan tenaga listrik tersebut tidak lain hanyalah untuk kepentingan umum, yaitu untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kepentingan umum tersebut tetap dijamin khususnya pada penjualan kelebihan Tenaga Listrik karena harus dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Baca juga:
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja Perkuat Kedudukan Hukum
DPR Reses, Sidang Lanjutan Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Dengar Keterangan Pemerintah soal Sistem “Unbundling” dalam UU Cipta Kerja
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan putusan perkara 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja.
Para Pemohon mendalilkan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketanagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina