JAKARTA, HUMAS MKRI - Konsekuensi suatu perbuatan yang disadari dapat berbeda dari tujuan perbuatan. Karenanya, komunikasi (berita/kabar/pesan) yang dapat memancing keributan atau huru-hara adalah yang pesannya berpotensi memotivasi orang untuk melakukan tindakan keributan atau huru-hara. Demikian disampaikan oleh Afrizal sebagai Ahli Pemohon, dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946); Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada Selasa (28/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan Nomor 78/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan dua Ahli yang dihadirkan para Pemohon, yaitu Afrizan dan Hesti Armiwulan.
Afrizal yang merupakan Dosen Program Studi Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, mengatakan dorongan atau keinginan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut merupakan konsekuensi dari pesan tersebut. Sebelumnya, seseorang tidak memikirkan atau tidak menginginkan untuk melakukan tindakan tersebut. Dalam literatur gerakan sosial, berita/kabar/pesan menyediakan framing (pembingkaian) bagi orang digunakan untuk melabel atau menafsirkan realitas. Berita/kabar/pesan yang dapat memancing tindakan keributan atau huru-hara adalah yang telah digunakan oleh orang sebagai framing.
“Sementara framing yang memotivasi tindakan adalah yang persuasif (menggugah perasaan). Persuasif tidaknya suatu framing tergantung pada penafsiran orang terhadap teks (simbol). Menurut Teori Fenomenologi dan Interaksionisme Simbolik, tindakan penafsiran orang terhadap simbol (baca teks) didasari pada pengetahuan yang ada pada orang (ada dalam pikiran). Penggunaan pengetahuan yang dimiliki untuk suatu penafsiran sehingga menghasilkan persepsi dan sikap tentang sesuatu memerlukan tindakan mencerna teks (memahami teks) yang menghasilkan pemahaman. Kemampuan orang memahami teks tergantung pula pada kerumitan teks dan konteks teks. Teks yang rumit (menggunakan frasa puitis dan konsep teoretis) dan tanpa konteks (hanya kata dan frasa atau satu kalimat) sulit untuk ditafsirkan, sehingga tidak dapat memotivasi tindakan,” terangnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Menurut Afrizal, suatu pesan berfungsi sebagai pembentuk kegelisahan dan kesadaran memerlukan adanya kegiatan mobilisasi dalam komunitas. Walaupun terjadi, mobilisasi saja tidak cukup untuk terjadinya tindakan agresif kolektif, karena pengorganisasian dan adanya peluang untuk melakukan aksi agresif diperlukan.
Afrizal juga menjelaskan Pasal Pasal 14. (1), Pasal 14. (2), dan Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ketiga pasal tersebut adalah pasal-pasal kriminalisasi perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Selain dari kata keonaran yang multitafsir dapat digunakan untuk mengkriminalisasi rakyat yang mengritik penguasa dan pengusaha, walaupun dapat mempengaruhi kesadaran banyak orang, berita bohong sulit minimbulkan kerusuhan. Pasal 15 berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi para akademisi. Oleh karena itu, menurutnya, ketiga pasal tersebut berpotensi sebagai ancaman terhadap kebebasan menyampaikan ekspresi oleh utamanya akademisi dan aktivis, menggerogoti demokrasi di Indonesia. Sehingga ia mengusulkan ketiga pasal tersebut dicabut.
Jaminan Perlindungan HAM
Ahli Pemohon berikutnya, Hesti Armiwulan Sochmawardiah mengatakan, di satu sisi hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia, di sisi yang lain, negara adalah entitas yang diharapkan hadir untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dari sejarah perjuangan hak asasi manusia secara tegas terlihat bahwa persoalan hak asasi manusia adalah persoalan antara individu yang mempunyai kekuasaan dengan individu yang tidak mempunyai kekuasaan. Persoalan hak asasi manusia adalah persoalan ketimpangan relasi kekuasaan.
Hesti yang merupakan Dosen dan Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya, lebih lanjut menjelaskan, menurut paham negara demokrasi, penyelenggara negara harus memperhatikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya dalam merumuskan hukum. Penyelenggara negara berfungsi sebagai penyalur kepentingan rakyat. Seluruh tindakannya yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan publik harus berlandaskan kepentingan rakyat. Dalam negara demokrasi penyelenggara negara tidak dibenarkan membuat kebijakan yang tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Apabila hal tersebut terjadi maka penyelenggara negara telah melakukan tindakan sewenang-wenang (abuse of power). Oleh karena itu salah satu prinsip yang mendasar dari demokrasi adalah pengawasan oleh rakyat.
Hesti menuturkan, setiap negara hukum harus menjamin dalam peraturan perundang-undangan termasuk implementasi dari peraturan perundang-undangan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan memastikan adanya sanksi hukum jika ada yang melanggar. Dengan kata lain bahwa hukum pada hakikatnya adalah jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang merupakan alat negara untuk mewujudkan tertib sosial dan sekaligus menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dalam konsep Negara hukum yang demokratis, maka hukum harus dimaknai sebagai rule of law bukan dimaknai rule by law atau rule by man. Hukum tidak boleh hanya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dan di sisi yang lain menyebabkan rakyat tidak dapat menikmati hak kebebasan dari ketakutan. Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul “The Pure Theory of Law” (Teori hukum Murni), mengemukakan bahwa Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Teori Hukum Murni (THM) merupakan gambaran hukum yang bersih dalam abstraksinya, dan ketat dalam logikanya. Mengeyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis yang dianggap irasional, THM tidak boleh dicemari ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah, dan pembahasan tentang etika.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
MK Tunda Sidang Ketentuan Pidana dalam UU ITE
Saksi Pemohon Ungkap Proses Penangkapan dan Postingan di Twitter dalam Sidang MK
Ahli Soroti Potensi Bahaya Berita Hoaks dan Keterbatasan Pasal Terkait Kebebasan Berpendapat
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 78/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (22/8/2023), Feri Amsari selaku kuasa Pemohon menyatakan materi yang diujikan adalah Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Undang-undang ini lahir di awal kemerdekaan sehingga perlu diuji secara materiil karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang dibangun di awal reformasi. Kemudian Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Kami paham betul Yang Mulia pasal-pasal ini sudah banyak sekali proses pengujiannya termasuk terdapat beberapa putusan. Tetapi soal ini, kami akan mengemukakan problematika konkret yang dialami oleh Pemohon prinsipal dan kami harapkan nanti akan mendapatkan putusan yang melindungi hak-hak konstitusional prinsipal kami,” ungkap Feri.
Haris dan Fatiah tengah menyandang status sebagai terdakwa dan tengah menjalani persidangan di Pengadilan Jakarta Timur. Alasan Haris dan Fatiah menjadi terdakwa ialah karena kritik keduanya baik melalui media tulisan maupun siniar pada pejabat publik yakni Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Karena kritik terhadap pejabat publik, keduanya didakwa dan dikenakan pasal-pasal yang tengah diuji.
Untuk memberikan kepastian hukum, para Pemohon meminta MK menunda perkara yang tengah dihadapi oleh Haris dan Fatia di pengadilan. Bagi para Pemohon, permohonan provisi merupakan manifestasi dalam memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum serta bentuk penyeimbang kekuasaan antara negara dan masyarakat. Kemudian dalam petitum, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim