JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Kamis (23/11/2023). Agenda sidang Perkara Nomor 66/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut ialah mendengarkan keterangan ahli dari MK.
Ahli yang dihadirkan MK yakni Jacob Samuel Halomoan Lumbantobing. Mantan Ketua Panitia Ad Hoc I BP-MPR RI itu mengatakan, keinginan PBB untuk mengembalikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur, tidak bisa dipahami hanya sebagai sebuah aturan konstitusi yang berdiri sendiri.
“Kewenangan itu akan merombak seluruh sistem, paling tidak akan menimbulkan kerancuan,” ujar Jacob di dalam sidang yang dipimpin langsung Ketua MK Suhartoyo.
Dia menuturkan, dalam UUD 1945, tidak ada kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang bersifat mengatur. Dia menyebutkan, hal tersebut jelas tidak disebutkan dalam UUD 1945.
“Jelas seluruh pasal UUD 1945 dari pasal 1 sampai dengan pasal 37 dan juga seluruh ketentuan pasal-pasal peralihan dan aturan tambahan tidak ada kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang bersifat mengatur atau regeling,” tutur Jacob.
Jacob menjelaskan, terdapat Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Pasal 12 UUD 1945 menyatakan, presiden memegang kewenangan untuk menyatakan keadaan bahaya. Mengacu pada Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, maka presiden dapat mengambil langkah-langkah efektif yang diperlukan dengan segera.
Selain itu, jika presiden berhalangan tetap dan/atau tidak dapat melakukan kewajibannya, terdapat Pasal 8 Ayat 1 UUD 1945 yang mencegah terjadinya kekosongan kekuasaan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa presiden dapat digantikan wakil presiden sampai habis masa jabatannya.
“Dengan demikian, pada waktu krisis kekuasaan itu bisa dipusatkan pada satu orang presiden, dan oleh karena itu pengambilan langkah awal yang diperlukan untuk mengatasi keadaan krisis dapat lebih efektif daripada jika langkah tanggap cepat itu harus diambil melalui rapat lintas berbagai lembaga instansi,” jelas Jacob.
Parpol Tunduk pada Peraturan
Dalam kesempatan itu juga, Jacob mengingatkan para peserta pemilihan umum (pemilu) 2024, dalam hal ini partai politik, wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana diatur dalam UU Pemilu, peserta pemilu wajib menyatakan kesetiaan kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Jacob menekankan, peserta pemilu juga tidak diperkenankan mempesoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia serta wajib menjaga ketertiban umum.
Jacob mengatakan, apabila terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2024, maka sebagai angggota MPR nantinya dapat berusaha untuk mengubah dan menyesuaikan UUD 1945 sesuai dengan keinginannya. Upaya itu dapat dilakukan tentunya dengan mengikuti ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tata cara perubahan atas UUD 1945, dengan mengecualikan pembukaan dan bentuk negara kesatuan yang tidak boleh diubah.
“Selama proses amendemen dari tahun 1999 sampai dengan 2002 kecuali satu keputusan perubahan UUD 1945 tentang penghapusan keberadaan utusan/golongan di MPR yang diangkat, yang diambil dengan cara pemungutan suara seluruh keputusan perubahan maupun untuk tidak melakukan perubahan atas UUD 1945 telah diambil dengan musyawarah mufakat,” ucap dia.
Jacob mengutip pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya pada 13 November 2023 lalu. Menurutnya, Megawati telah kembali menegaskan pentingnya untuk menegakkan konstitusi UUD 1945 dengan selurus-lurusnya.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sejumlah Ahli dan Saksi Sejarah Hadir Terkait Uji Aturan Kewenangan MPR
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU P3
Sebelumnya, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum dan Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal. Pemohon mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional. Untuk itu, Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.