JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan terhadap uji formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (22/11/2023). Sidang ini beragendakan mendengarkan keterangan pemerintah Perkara 40/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023.
Dalam sidang tersebut, Pemerintah yang diwakili Haiyani Rumondang yang merupakan Dirjen Binwasnaker dan K3 menyampaikan, UU Cipta Kerja pada prinsipnya telah mengatur bahwa PKWT tidak dapat dibuat untuk semua jenis pekerjaan. “Artinya PKWT hanya untuk ‘pekerjaan tertentu’ saja dan hubungan kerja berdasarkan PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu dan tidak dapat dibuat untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Dengan kata lain, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekeriaan vang bersifat sementara. Batasan mengenai jenis dan sifat atau kegiatan PKWT yang sementara tersebut, tidak terdapat di dalam konsep Perianiian Keria Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Bila batasan mengenai jenis dan sifat atau kegiatan PKWT tersebut dilanggar, maka demi hukum PKWT menjadi PKWTT,” ujarnya.
Menurut Haiyani, perubahan PKWT menjadi PKWTT merupakan konsekuensi logis dari adanya pembatasan dalam UU 6/2023 mengenai “pekeriaan tertentu” yang dapat dibuat PKWT. Demi hukum PKWT menjadi PKWTT justru melahirkan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh PKWT dari praktik kesewenang-wenangan pengusaha sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo. Sehingga, ia menegaskan, dalil Pemohon yang menyatakan PKWT tidak memiliki batas waktu kapan berakhir, termasuk batas waktu perpanjangan PKWT merupakan dalil yang keliru. “Pemohon sepertinya hanya melihat PKWT sebatas Pasal 81 angka 12 Pasal 56 ayat (3) UU 6/2023, pemahaman yang benar harus melihat pasal a quo secara utuh dan termasuk peraturan pelaksana dari pasal dimaksud,” terangnya.
Selain itu, Haiyani juga mengatakan, PKWT berdasarkan Pasal 81 angka 12 Pasal 56 UU Cipta Kerja juncto Pasal 8 PP 35/2021 jelas dan terang dalam ketentuan a quo, PKWT dibuat untuk paling lama 5 (lima) tahun. Bahkan dalam PP 35/2021 lebih tegas lagi dikatakan bahwa PKWT beserta perpanjangannya paling lama 5 (lima) tahun. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan PKWT tidak memiliki batas waktu kapan berakhir, termasuk batas waktu perpanjangan PKWT dengan sendirinya tidak beralasan hukum.
“Memahami Pasal 81 angka 12 Pasal 56 ayat (3) U 6/2023 tidak bertumpu pada frasa ‘perjanjian kerja’ apalagi berdalih dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana dalam Pasal 1338 ayat (1) dan Pasal 1320 KUHPerdata, yang seolah-olah apapun yang disepakati dalam ‘perjanjian kerja’ dapat dibenarkan secara hukum. Perjanjian keria dengan asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata tidak bisa dilepas dari ketentuan norma yang diatur pada UU 6/2023 jo. PP 35/2021,” ujarnya.
Haiyani menegaskan, pemerintah melalui Pasal 81 angka 12 Pasal 56 ayat (4) UU Cipta Kerja telah jelas mengatur bahwa ketentuan lebih laniut mengenai PKWT berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam peraturan pemerintah. Ketentuan a quo kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan menerbitkan PP 35/2021 yang memberikan batasan bahwa PKWT dibuat untuk paling lama 5 (lima) tahun, bahkan dalam PP 35/2021 lebih tegas lagi dikatakan bahwa PKWT beserta perpaniangannya paling lama 5 (lima) tahun. “Dengan demikian, perjanjian kerja yang dimaksud dalam Pasal 81 angka 12 Pasal 56 ayat (3) UU 6/2023 tidak bisa menyampingkan batasan ketentuan UU 6/2023 jo. PP 35/2021,” terangnya.
Penentuan jangka waktu atau selesainya pekerjaan PKWT dalam “perjanjian kerja” akan memperjelas kapan “dimulai” dan “berakhirnya” suatu pekeriaan berdasarkan PKWT. Hal ini sangat diperlukan, utamanya apabila di kemudian hari teriadi perselisihan antara pekeria/buruh dengan pengusaha terkait pelaksanaan PKWT. Dengan demikian, penentuan batasan jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu dalam perjanjian keria justru bertujuan untuk memperkuat aspek legalitas bagi pekerja/buruh dalam pelaksanaan PKWT serta meniadi salah satu alat bukti apabila pekeria/buruh menghadapi perselisihan PKWT dengan pengusaha di kemudian hari.
Baca juga:
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Persoalkan Penetapan UU Cipta Kerja
KSBSI Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Proses Pembentukan UU Cipta Kerja Kembali Dipersoalkan
Sejumlah Badan Hukum Perjelas Alasan Pengujian Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Ratusan Pekerja Tuding UU Cipta Kerja Permudah Mekanisme PHK
Ratusan Pekerja Perkuat Dalil Uji UU Cipta Kerja
Uji Konstitusionalitas Dua Lembaga Sertifikasi Halal
Partai Buruh Tambahkan Bukti Uji Formil UU Cipta Kerja
Partai Buruh Minta MK Batalkan UU Cipta Kerja
DPR dan Presiden Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Tetapkan Pemisahan Uji Formil dan Tunda Uji Materil UU Cipta Kerja
Keterangan DPR dan Presiden Belum Siap, Sidang UU Cipta Kerja Ditunda
Sidang Uji Materil UU Cipta Kerja Ditunda Hingga Uji Formil Diputus
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Pemohon menguraikan dalil permohonannya. Ia mengatakan pemohon berusia produktif bekerja meskipun pemohon belum bekerja tetapi secara potensial pemohon pasti bekerja. Ketika pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja. Tentu sangat rawan sekali mengingat pekerja ini merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal kalau kita lihat di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap.
Pendapat Pemohon ini berdasarkan bahwa perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu terlebih lagi bahwa pemberlakuan Pasal tersebut dapat memperpanjang Kembali dalam jangka waktu kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat.
Dalam permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pemohon kemudian menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina