JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) pada Selasa (21/11/2023). Permohonan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima organisasi profesi medis dan kesehatan yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan.
Sidang ketiga ini sedianya mengagendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Namun, DPR tidak hadir di persidangan. Sedangkan perwakilan Presiden/Pemerintah yang hadir di persidangan, melaporkan pihaknya belum siap memberikan keterangan.
“Untuk itu, Mahkamah menjadwalkan kembali sidang pada Kamis, 7 Desember 2023 pada pukul 10.30 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah,” sampai Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta enam hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga:
Cacat Formil UU Kesehatan Versi Organisasi Profesi
Lima Organisasi Profesi Medis Perbaiki Uji Formil UU Kesehatan
Sebagai tambahan informasi, Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri atas lima organisasi profesi medis dan kesehatan, mengajukan pengujian formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke MK. Kelima organisasi profesi medis dan kesehatan dimaksud yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai Pemohon I, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sebagai Pemohon II, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) sebagai Pemohon III, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) sebagai Pemohon IV, dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) sebagai Pemohon V).
Dalam sidang perdana pengujian formil UU Kesehatan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 yang digelar di MK pada Kamis (12/10/2023), Muhammad Joni selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, para Pemohon merupakan tenaga medis yang terdampak langsung dan memiliki kepentingan atas prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. Sebab berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti. Termasuk mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa prosedur formil yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation).
Terlebih lagi, sambung Joni, adanya Bab XIX Ketentuan Peralihan, Pasal 451 yang menjadi norma hukum menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ “jantung” organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan "milik” pemerintah). Terlebih dengan munculnya Pasal 451 UU Kesehatan yang berbunyi: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana diraksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini.”
Cacat Formil
Pada alasan permohonan para Pemohon menilai UU Kesehatan mengalami cacat formil. Hal ini karena tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan dan tidak adanya pertimbangan DPD dalam pembuatan UU Kesehatan, serta tidak sesuai dengan prosedur pembuatan norma sebagaimana ditentukan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan UU Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.