JAKARTA, HUMAS MKRI – Tingkat literasi dan kehati-hatian masyarakat Indonesia masih belum baik. Sehingga berbahaya jika menerapkan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dengan rumusan yang luas.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Ilmu Hukum Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara Vidya Prahassacitta yang dihadirkan sebagai Ahli oleh Haris Azhar, Fathiah Maulidyanty, serta YLBHI. Keterangan tersebut disampaikan Vidya sebagai Ahli Pemohon Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang menguji tiga undang-undang. Undang-undang yang diuji, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946]; Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Karena dengan jari Bapak, Ibu, memforward satu berita yang belum tentu benar, itu akan dipidana. Dan sudah banyak kasusnya,” ujar Vidya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya.
Kemudian, Vidya juga menilai perumusan tindak pidana penyebaran berita dalam KUHP memuat unsur kesalahan yang dirumuskan secara luas dan tidak jelas. Perumusan delik proprate dolus proparte culpa pada Pasal 15 KUHP membuat pasal ini dapat menjadi pasal karet.
“Hal ini bertentangan dengan asas lex certa, perbuatan yang dilarang dalam undang-undang harus dijabarkan secara jelas. Ketika suatu perumusan tindak pidana tidak jelas maka hal ini bertentangan dengan asas legalitas yang secara tidak langsung diakui dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum,” ungkap Vidya.
Menjerat Pengguna Internet
Selain itu, Vidya mengatakan, perilaku tidak bermoral dari penyebaran berita bohong adalah bahaya yang ditimbulkan dari pernyataan tersebut dari masyarakat. Pemberitaan bohong merupakan bentuk penyesatan atau memanipulasi orang lain atau masyarakat sehingga menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum. Suatu pernyataan di ruang publik hanya boleh dibatasi apabila penyataan tersebut merugikan orang lain, masyarakat maupun keamanan negara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) ICCPR yng sudah diratifikasi.
“Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 dipergunakan untuk menghukum pernyataan tidak benar mengenai materi apa pun yang beredar di masyarakat. Pasal ini tidak secara khusus ditujukan kepada aktivis maupun tokoh publik yang mengkritik kebijakan pemerintah tetapi kepada masyarakat umum, terutama pengguna internet yang membicarakan isu yang sedang menjadi perbincangan hangat pada masa itu, misalnya pemilihan umum (2018) atau pandemik Covid-19 (2020-2021),” tandas Vidya.
Pemohon juga menghadirkan Herlambang P. Wiratraman yang merupakan Dosen Dept. Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dalam keterangannya, ia menyebut pasal yang diujikan seringkali dikenakan ke arah pidana. “Sangat perspektif pidana dan belum keluar dari cara pandang kolonial,” ucapnya.
Herlambang menyampaikan bahwa kebebasan ekspresi pula diatur secara khusus, baik sebagai hasil ratifikasi perjanjian internasional, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR 1966 yang telah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005, pula melalui dua undang-undang terkait, yakni: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara menyampaikan pendapat di muka umum yang diperbolehkan; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang pula mengatur sejumlah pasal tentang kebebasan ekspresi.
Sementara Hisyam Fakhrul Ulum yang merupakan Saksi Pemohon mengatakan pada Jumat, 20 Januari 2023, warga Pakel menerima surat panggilan dari Polda Jawa Timur. Surat panggilan tersebut menetapkan 3 warga Pakel, yakni: Mulyadi (Kepala Desa), Suwarno (Kepala Dusun), dan Untung (Kepala Dusun) sebagai tersangka. Mereka dikenakan Pasal 14 dan atau 15 KUHP. Sebagaimana diketahui, surat panggilan tersebut meminta 3 warga Pakel di atas untuk datang ke Polda Jawa Timur pada Kamis, 19 Januari 2023, namun surat panggilan tersebut baru diterima warga pada Jumat, 20 Januari 2023. Pelapor dalam perkara ini adalah Suparmo, Warga desa Pakel sekaligus Ketua TIM Peduli Pakel yang sebelumnya mencoba melakukan penanaman di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh PT. Bumi Sari dengan ribuan batang pohon pisang, yang kemudian pada bulan Januari 2019 oleh Djohan Sugondo, pemilik PT. Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan perkebunan. Merespons situasi tersebut, pada tanggal 1 Februari 2023, Warga Pakel dan tim hukum, mengirimkan surat kepada: Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN, Kapolri, Kompolnas, dan Komnas HAM. Mereka mendesak agar Presiden Jokowi dan lembaga terkait, untuk menyelesaikan kasus Pakel dan membebaskan Mulyadi, Suwarno, dan Untung.
Selanjutnya ia menerangkan, Majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi dalam PUTUSAN Nomor 206/Pid. B/2023/PN Byw, 207/Pid. B/2023/PN Byw, 208/Pid. B/2023/PN Byw, mengadili dengan menyatakan para Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat sebagaimana dalam dakwaan primair Penuntut Umum. Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
“Ketika mau mendalami perkara melalui media zoom tiba-tiba terputus ketika mau mendalami pernyataan saksi yang tidak sesuai. Dalam proses persidangan seringkali pembatasan yang mana ketika itu melakukan protes secara online namun dengan batasan-batasan pengunjung. Pembatasan pengunjung itu berlaku bagi keluarga korban dan warga tetapi tidak berlaku untuk perusahaan,” terangnya.
Sementara saksi kedua yang dihadirkan oleh pemohon adalah Nurkholis Hidayat menjelaskan pola relasi pelapor atau yang merasa dirugikan dengan terlapor atau yang dikriminalisasi dalam hal ini merupakan relasi yang tidak equal, tidak sejajar, tetapi berhubungan dengan relasi antara seorang pejabat publik dengan rakyat yang menyuarakan pendapatnya. Relasi yang timpang ini membentuk pola yang lain. “Kedua, terkait adanya kecendrungan bahwa aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan dan penuntutan bahkan di persidangan Majelis Hakim kecendrungan tidak bersifat independen karena berhadapan dengan seorang pejabat publik yang berkuasa,”ujanya.
Ketiga, sambung Nurkholis, pola yang paling konsisten adalah tujuan dari proses persekusi dari yang dilakukan tujuannya adalah untuk membungkam atau mensilent atau membuat bungkam partisipasi publik. Beberapa kasus itu mulai dari partisipasi masyarakat aktivis antikorupsi yang mencoba menuntut transparansi pemerintahan dan mengungkap korupsi, ada juga yang mengkritik mengenai substansi peraturan perundang-undangan, mengkritik lembaga negara, mengkritik institusi dan beberapa hal lain yang semuanya berdasarkan sebuah tindakan yang legitimasi berbangsa dan bernegara.
“Saat ini mungkin saya menjelaskan terkait dengan apa yang dialami secara faktual kasus Haris dan Fatiah yang saat ini didakwa dan disidangkan di pengadilan negeri Jakarta Timur dengan pelapor Luhur Binsar Pandjaitan. Keduanya didakwa untuk Pasal 14 dan 16 kemudian Pasal 310 ayat (1). Proses di penyidikan, penyidik bekerja kurang lebih setahun dalam memproses laporan dari pihak pelapor dan beberapa hal yang tidak diindahkan oleh penyidik dalam hal ini berkaitan dengan SKB mengenai UU ITE, proses restorative justice, proses mediasi yang dihentikan sepihak oleh penyidik tanpa ada kesepakatan dari para pihak,”ungkapnya.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
MK Tunda Sidang Ketentuan Pidana dalam UU ITE
Saksi Pemohon Ungkap Proses Penangkapan dan Postingan di Twitter dalam Sidang MK
Sebagai informasi, pemohon menyatakan materiil yang diujikan adalah Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. “Undang-undang tersebut merupakan undang-undang awal sekali kemerdekaan yang kami rasa perlu untuk dilakukan pengujian karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang dibangun di awal reformasi. Kemudian Pasal Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Haris dan Fatiah dalam hal ini pemohon I dan pemohon II tengah menyandang status sebagai terdakwa dan telah menjalani atau tengah menjalani persidangan di Pengadilan Jakarta Timur. Tanpa bermaksud untuk menarik MK menilai kasus konkrit alasan pemohon I, pemohon II sampai dapat menjadi terdakwa ialah karena kritik keduanya baik melalui media tulisan maupun siniar pada pejabat publik yakni Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Karena kritik terhadap pejabat publik keduanya didakwa dan dikenakan pasal-pasal yang tengah diuji. Sehingga untuk memberikan kepastian hukum bagi keduanya kami minta agar Majelis Hakim Konstitusi untuk menghentikan dalam pengertian menunda perkara yang tengah dihadapi oleh pemohon I dan II di pengadilan. Bagi Pemohon, permohonan provisi merupakan manivestasi dalam memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum serta bentuk penyeimbang kekuasaan antara negara dan masyarakat. Sehingga hak konstitusional pemohon dapat terlindungi sejak dini maka berdasarkan gambaran yang telah dipaparkan beralasan apabila ia meminta MK untuk menghentikan dalam arti menunda perkara yang tengah menjerat pemohon I dan pemohon II sepanjang sidang pengujian UU ini tengah berlangsung. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha