JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang kedelapan pengujian materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Semula, agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan Ahli dari MK. Akan tetapi, keterangan Ahli untuk hari ini belum dapat didengar karena kondisi kesehatan Ahli yang tidak memungkinkan.
“Kami sudah menghubungi Ahli itu, tetapi kedua Ahli yang kami hubungi karena kondisi kesehatan hari ini belum bisa hadir. Oleh karena itu, sidang untuk mendengarkan keterangan ahli yang diajukan atau yang diminta oleh MK akan ditunda,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Untuk itu, Majelis Hakim menyampaikan sidang ditunda pada Kamis, 23 November 2023 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari MK.
Baca juga:
Yusril Ihza Mahendra Perbaiki Permohonan Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR
Menguji Konstitusionalitas Kewenangan MPR
MPR Sebut Ada Kewenangan yang Belum Diatur dalam Bentuk Produk Hukum
Sejumlah Ahli dan Saksi Sejarah Hadir Terkait Uji Aturan Kewenangan MPR
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU P3
Sebelumnya, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum dan Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal. Pemohon mendalilkan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
Pemohon mendalilkan keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional. Untuk itu, Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.