JAKARTA, HUMAS MKRI - Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada dan Ahmad Sofian dari Universitas Bina Nusantara (BINUS) memberikan keterangan sebagai Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah pada sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Selasa (7/11/2023). Terhadap permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 yang diajukan Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya (para Pemohon) ini, Zainal Arifin mengatakan hukum pajak sering berdiri di beberapa kaki karena sifatnya yang sangat administratif. Bahkan hukum pajak sering juga disebut sebagai hukum administrasi yang diberi ancaman pidana untuk menegakkan hukum administrasi yang termuat di dalamnya. Termasuk dalam ketentuan Pasal 43A UU HPP yang mengatur tentang ketentuan pidana berupa tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana. Dengan kata lain, sambung Zainal, secara sederhana pada UU HPP tersebut terdapat peran hukum pidana materiil dalam hal penjatuhan sanksi pidana (KUHP) dan peran hukum pidana formil (KUHAP) dalam hal tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
Zainal lebih lanjut mengatakan, berdasarkan hukum tata negara, UU HPP dikualifikasikan sebagai undang-undang yang memiliki karakteristik khusus yang lebih bersifat lex specialis systematis yang memuat tiga parameter. Yakni, ketentuan hukum yang diatur di dalam materi muatan undang-undang tersebut berbeda dengan ketentuan hukum pada umumnya; ketentuan hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut juga mengatur ketentuan hukum pidana materiil dan formil namun berbeda dari ketentuan pada umumnya; dan subjek dan/atau adresat hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut sangat bersifat khusus.
“Maka Undang-Undang HPP yang di dalamnya memuat ketentuan tindak pidana di bidang perpajakan, telah memenuhi kualifikasi sebagai undang-undang yang memiliki kekhususan sistematis. Sehingga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK/03/2022 sebagai peraturan delegasi yang mengatur tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, sudah sesuai dengan sifat hukum pidana pajak itu sendiri. Sebab telah dapat dipandang sebagai ius singulare atau lex specialis systematis, yang memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Ini lagi-lagi karena karakter hukum pidana pajak amat sangat khusus dan berbeda dengan ketentuan hukum pada umumnya,” sampai Zainal Arifin di hadapan Majelis Hakim Sidang Pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta enam hakim konstitusi lainnya.
Pemeriksaan Bukper Bukan Objek Praperadilan
Pada kesempatan ini, Ahmad Sofian menyampaikan pemikirannya atas permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 tentang praperadilan tindak pidana pajak. Dalam upaya penegakan hukum administrasi perpajakan jika berjalan tidak efektif, semisal Wajib Pajak (WP) tidak mau/tidak mampu bayar, maka hal demikian tidak dapat dilanjutkan ke proses hukum pidana. Sebab, penyelesaian hukum administrasi perpajakan merupakan sengketa administrasi yang semestinya diselesaikan di Pengadilan Pajak.
Perlu dipahami bahwa tindak pidana perpajakan harus terlebih dahulu dimulai dari adanya indikasi tindak pidana pajak yang didasarkan pada Informasi Data Laporan Pengaduan (IDLP) yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Namun, hal ini pun dapat saja dihentikan apabila WP mengakui ketidakbenaran, membayar pokok dan denda 150% sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Namun, sambung Sofian, apabila sudah dilanjutkan ke proses penyidikan dan WP menghendaki membayarnya, maka WP menggunakan instrumen dari Pasal 44B UU KUP).
Selanjutnya berkaitan dengan pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan dalam rangka ditemukannya dugaan tindak pidana perpajakan yang merugikan pendapatan keuangan negara, Sofian berpandangan bahwa dalam hal ini pemeriksaan bukti permulaan tidak dapat dilakukan praperadilan, karena sifatnya untuk melakukan filterisasi atas ada atau tidaknya tindak pidana perpajakan yang merugikan pendapatan negara. Sehingga, filterisasi penting dilakukan untuk memastikan kewenangan dalam melakukan langkah selanjutnya oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan perpajakan.
“Bahwa pemeriksaan bukti permulaan yang memiliki tujuan yang sama dengan penyelidikan tidak seharusnya dijadikan objek praperadilan. Sebab hal ini akan menghadirkan kekacauan hukum pidana formil, karena semua penyelidikan di lingkungan pemeriksaan perkara pidana, baik yang dilakukan oleh penyidik Polri dan PPNS menjadi dapat dilakukan praperadilan dan berakibat menghilangkan tujuan dibentuknya Lembaga Praperadilan itu sendiri,” sampai Sofian.
Baca juga:
Wajib Pajak Pertanyakan Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan
Badan Hukum Turut Serta Jadi Pemohon Uji Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Pajak
Eddy Hiariej: Pemeriksaan Bukti Permulaan Merupakan Penerapan Sunrise Principle
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya. Para Pemohon mengujikan Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 Angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sepanjang frasa “...pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan”, dan Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP sepanjang frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Pasal 43A ayat (1) UU HPP menyatakan, “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Pasal 43A ayat (4) UU HPP menyatakan, “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (28/8/2023), Cuaca selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret saat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana perpajakan sesuai ketentuan Pasal 43A ayat (4) UU HPP, Pemohon harus mengalami upaya paksa seperti penyegelan dan penggeledahan yang dapat dilakukan oleh penyidik (PPNS) dalam rangka pemeriksaan bukper. Hal ini menurut Pemohon tidak dapat pula digugat melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab surat-surat yang diterbitkan dalam rangka pemeriksaan bukper tersebut merupakan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana yang dikecualikan dari kompetensi PTUN.
Pemohon melihat hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan. Selain itu, pada faktanya terdapat pula putusan pengadilan yang berbeda-beda berkaitan dengan permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan” dalam Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap tindakan-tindakan dalam pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yaitu:
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. mengakses dan/atau mengunduh data, informasi, dan bukti yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegintan wusaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
d. melakukan Penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/ atau barang tidak bergerak;
dapat diajukan upaya hukum Praperadilan ke Pengadilan Negeri”.
Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan” dalam Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.