KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengusulkan kepada pemerintah agar pengadilan tipikor diperkuat menjadi pengadilan khusus. Ini akan menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk memperbaiki birokrasi negara dan membersihkan semua fungsi penyelenggara negara dari korupsi.
"Tapi kalau pembentuk UU sudah menjatuhkan pilihan untuk memperkuat pengadilan negeri dan meniadakan pengadilan tipikor, ya susah untuk ikut campur," ujarnya.
Menanggapi usulan agar MK mengirimkan surat kepada Presiden untuk mengingatkan batas waktu pelaksanaan putusan MK terhadap pengajuan RUU Pengadilan Tipikor, Jimly menilai tidak perlu. Pasalnya, putusan MK sudah cukup jelas diketahui banyak pihak, termasuk Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Surat itu kan untuk menerangkan sesuatu. Putusan MK sudah jelas, tenggang waktunya tiga tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk mengambil langkah-langkah legislasi," ujar Jimly usai menerima kunjungan mahasiswa Swiss German University, kemarin (24/4). Waktu tiga tahun yang diberikan MK berakhir pada 19 Desember 2009.
Putusan MK terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) melarang adanya dualisme pengadilan kasus korupsi, yaitu di pengadilan negeri dan pengadilan tipikor. "Keberadaan dua forum inilah yang melahirkan ketidakadilan yang bertentangan dengan konstitusi," kata Jimly.
Untuk menghindari dualisme tersebut, MK memberikan batas waktu tiga tahun untuk memilih apakah memperkuat keberadaan pengadilan tipikor melalui UU atau mengembalikan penanganannya ke pengadilan umum. "Angka tiga tahun itu, supaya tidak ada lagi kesempatan untuk mengatakan tidak cukup waktu."
Eksistensi pengadilan tipikor saat ini tergantung kepada Presiden dan DPR. Bila hingga 19 Desember 2009, UU Pengadilan Tipikor tidak diselesaikan atau sengaja tidak diajukan untuk dibahas, pilihan itu tetap konstitusional. "Semua orang sudah tahu kalau lewat tiga tahun pengadilan tipikor tidak berlaku lagi. Tapi kan masih ada sisa waktu, kalau mau masih bisa. Dan kalau pemerintah atau DPR tidak mau, itu namanya pilihan politik."
Menanggapi usulan pengamat Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul, Irman Putra Sidin agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang pengadilan tipikor, Jimly menolak karena tidak ada keadaan yang genting. "Kegentingannya apa? Kan tenggang waktunya juga lama, tiga tahun," ujarnya. (Siagian Priska Cesillia)
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id