JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap uji formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Selasa (7/11/2023). Sidang lanjutan Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta enam hakim konstitusi lainnya.
Semula, agenda sidang ini, yakni mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Namun, menurut laporan dan catatan Kepaniteraan MK, DPR berhalangan hadir dan Pemerintah mengirimkan surat yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI sehingga keterangan belum dapat didengar pada persidangan hari ini.
“Intinya pemerintah mengajukan permohonan agar ada penundaan karena mereka masih mempersiapkan. Kami sampaikan kepada pemerintah dan kuasa presiden untuk sidang selanjutnya itu harus segera disiapkan. Jadi tidak ada lagi alasan belum siap dan segala macamnya. Kita juga harus menghargai kepentingan Pemohon, ya. Itu tolong dicatat dengan baik. Sidang ditunda hari Rabu, 22 November 2023 pukul 11.00 WIB, dengan agenda tetap yaitu masih mendengar keterangan DPR dan Pemerintah,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi enam Hakim Konstitusi lainnya.
Mendengar hal tersebut, Pemerintah menyampaikan sebagaimana surat yang disampaikan dan ditandatangani Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tertanggal 6 November 2023 memohon untuk perpanjangan waktu menyusun keterangan presiden dan menunda persidangan dimaksud.
Baca juga:
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Persoalkan Penetapan UU Cipta Kerja
KSBSI Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Cipta Kerja
Proses Pembentukan UU Cipta Kerja Kembali Dipersoalkan
Sejumlah Badan Hukum Perjelas Alasan Pengujian Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Ratusan Pekerja Tuding UU Cipta Kerja Permudah Mekanisme PHK
Ratusan Pekerja Perkuat Dalil Uji UU Cipta Kerja
Uji Konstitusionalitas Dua Lembaga Sertifikasi Halal
Partai Buruh Tambahkan Bukti Uji Formil UU Cipta Kerja
Partai Buruh Minta MK Batalkan UU Cipta Kerja
DPR dan Presiden Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji UU Cipta Kerja Ditunda
MK Tetapkan Pemisahan Uji Formil dan Tunda Uji Materil UU Cipta Kerja
Keterangan DPR dan Presiden Belum Siap, Sidang UU Cipta Kerja Ditunda
Sidang Uji Materil UU Cipta Kerja Ditunda Hingga Uji Formil Diputus
Sebagai tambahan informasi, permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Leonardo Siahaan selaku Pemohon Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 mendalilkan sebagai warga negara yang berusia produktif bekerja meskipun Pemohon belum bekerja tetapi secara potensial Pemohon pasti bekerja. Ketika Pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap.
Membandingkan dengan norma-norma yang telah ada sebelumnya, Pemohon menegaskan bahwa di dalam pasal a quo belum diatur batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon. Terhadap hal tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2256 56 ayat (3) UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.” (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina