JAKARTA, HUMAS MKRI – Jus Marfinnoor selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil OJK (PPNS OJK) dan Ahmad Sathori selaku Pengawas Eksekutif OJK dihadirkan sebagai Saksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sidang kesembilan atas uji materiil Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada Kamis (2/11/2023).
Sebagai Saksi yang dihadirkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Marfinnoor menjabarkan beberapa perkara yang ditanganinya dalam penugasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak 2015. Dalam penanganan perkara oleh Penyidik OJK dapat saja dilakukan di tempat yang tidak terdapat kantor OJK dengan bekerja sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan di daerah setempat. Berdasarkan pengalamannya, ia menceritakan bahwa penanganan perkara di Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK dapat berupa pelimpahan perkara yang berasal dari pelimpahan satuan kerja pengawasan di OJK. Ini merupakan perkara yang paling banyak (mayoritas) ditangani oleh Marfinnoor selama masa penugasannya.
Selain itu, sambung Marfinnoor, ada sumber perkara yang diperoleh atas pelaporan dari masyarakat kepada DPJK yang dikoordinasikan dengan pengawas di OJK. Ada pula perkara yang merupakan temuan hasil penyidikan yang dikoordinasikan dengan pengawas di OJK. Usai mendapatkan pelimpahan perkara tersebut, jelasnya, penyidik OJK akan melakukan penyelidikan. Apabila ditemukan adanya peristiwa hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka penyidik OJK akan meningkatkan perkara ke tahap penyidikan.
Singkatnya, setelah diterbitkan surat perintah penyidikan dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), maka penyidik OJK akan berkoordinasi dengan Kepolisian Indonesia (Korwas PPNS Bareskrim Polri). Utamanya saat upaya paksa dalam pencarian, penangkapan, dan penahanan terhadap tersangka. Dikarenakan bertambahnya kewenangan dan perluasan tindak pidana di sektor jasa keuangan dan ditambah pula dibukanya pengaduan langsung dari masyarakat, maka dibutuhkan tambahan penyidik.
Koordinasi dan permintaan penambahan penugasan penyidik ini diakui Marfinnoor terus dilakukan OJK, baik oleh Polri, BPKP, dan Kementerian (PPNS Pajak dan Bea Cukai). Dengan adanya penyidik dari pegawai tertentu, yang diharapkan dapat berasal dari pegawai internal OJK, maka jumlah penyidik OJK dapat lebih ideal sesuai dengan jumlah perkara yang ditangani OJK yang sejalan dengan perkembangan kewenangan yang diberikan UUP2SK.
“Berdasarkan pengalaman saya, dibutuhkan pengetahuan dan kompetensi yang cukup dalam rangka mengenal proses bisnis industri jasa keuangan. Bahwa sebelum adanya UU P2SK, penyidik OJK menjadi penyidik PPNS yang dibawahi banyak undang-undang k dalam proses penegakan hukum. Dari pengalaman selama 8 tahun, saya belum dapat menguasai seluruh undang-undang yang mengatur ketentuan pidana dan proses bisnis industrinya. Sehingga dibutuhkan penyidik tertentu, yang berasal dari internal OJK dan mengenal bisnis industri ini untuk kemudian dididik menjadi penyidik tertentu,” tandas Marfinnoor menanggapi Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi, dkk.
Perlindungan OJK
Berikutnya Ahmad Sathori selaku Pengawas Eksekutif OJK dalam kesaksiannya mengungkapkan kasus konkret yang dialami PT WAL. Berdasarkan UU P2SK komunikasi antara Pengawas dengan pemegang saham dilakukan dalam bentuk rencana penyehatan keuangan (RPK). Hal ini dilakukan agar pada pertemuan tersebut didapatkan langkah konkret yang dapat diupayakan pemegang saham untuk menyelamatkan perusahaan yang bersangkutan. Pada setiap pertemuan dan komunikasi, pihak OJK selalu meminta agar dilakukan pertemuan fisik yang tidak dapat diwakilkan. Namun pada kenyataan, yang bersangkutan sedang menjalani pengobatan di luar negeri, sehingga pihaknya menghadiri pertemuan secara virtual melalui kuasa hukumnya.
“Melalui surat pemegang saham pengendali PT WAL, pemegang saham telah melakukan RUPS secara sirkuler. Pada intinya oihaknya menerangkan seluruh pemegang saham setuju untuk menyatakan pembubaran perseroan dan membentuk Tim Likuidasi. Sehingga apa yang dilakukan OJK secara konsisten telah dilakukan untuk perlindungan kepada Pemegang Polis demi kepastian pengembalian hak-hak pemegang polis. Selain itu, OJK telah meminta kepada pemegang saham PT WAL untuk kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, termasuk melalui Tim Likuidasi untuk melakukan upaya hukum dalam rangka optimalisasi pengembalian aset pemegang polis,” jelas Ahmad terhadap proses yang telah dilakukan OJK terhadap perkara yang dialami para pemegang polis dari PT WAL.
Baca juga:
Kewenangan Penyidikan Tunggal kepada OJK Dipertanyakan
DPR dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Soal Penyidik Tunggal OJK
Urgensi Penyidik OJK Dalam Pandangan DPR dan Presiden
Polri dan OJK Jelaskan Ranah Penyidikan Sektor Jasa Keuangan
Eksistensi Kewenangan OJK Dipertanyakan
Penyidik Tunggal OJK Mereduksi Kewenangan Polri
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV), Bakhtaruddin (Pemohon V), dan Muhammad Fachrorozi (Pemohon VI). Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK. Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.
Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim