JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946), pada Kamis (2/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.
Selengkapnya Pasal 330 KUHP ayat (1) menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menarikseorangyangbelum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara palinglama tujuh tahun”.
Dalam persidangan, kuasa pemohon Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa. Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana puterinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.
Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.
Begitu pula yang dialami Shelvia. mantan suaminya melakukan pemalsuan identitas anak dalam pembuatan paspor tanpa seizinnya untuk pergi ke luar negeri.
Nasib serupa dialami Nur. Anak kedua Nur, diculik oleh mantan suami pada akhir Desember lalu. Hingga saat ini terlapor belum dijadikan tersangka dan tidak ada kejelasan mengenai keberadaan anak keduanya.
Berikutnya, kasus yang dialami Angelia Susanto yang memiliki mantan suami warga negara asing. Hingga kini Angelina masih belum menemukan keberadaan anaknya. Mantan suaminya menculik anak mereka pada Januari 2020.
Terakhir, kasus yang dialami Roshan Kaish Sadaranggani. Ketika anaknya diambil oleh mantan suaminya, ia telah berupaya melapor ke KPAI dan mengajukan eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Akan tetapi, hingga saat ini ia masih tidak mendapat akses untuk menemui anaknya.
Sanksi Pidana
Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.
“Sehingga terdapat sanksi sesuai Pasal 330 ayat (1) KUHP bagi siapa saja yang melanggarnya. Tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak. Namun, dengan ada penafsiran yang berpandangan ayah atau ibu kandung yang tidak dapat dianggap sebagai pelaku atau subjek hukum sebagaimana frasa “Barang siapa” Pasal 330 ayat (1) KUHP maka telah melanggar prinsip-prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,”ujarnya.
Menurut para Pemohon, frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi Ayah atau Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Pemenuhan hak-hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia di mana terdapat peran dan tanggung jawab negara memberikan perlindungan, pengawasan serta penegakan hukum guna tercapainya kesejahteraan bagi anak. Oleh karenanya negara berwenang melakukan penindakan terhadap orang tua yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan dalam permohonan para Pemohon masih terdapat beberapa kekurangan. Misalnya pada poin perihal permohonan uji materiil, penulisannya yang benar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
“Ini (di sini) hanya ditulis undang-undang, padahal yang benar UUD Republik Indonesia. Kemudian dalam permohonan nanti sampai petitum dinyatakan bertentangan dengan UUD saja, pasal-pasalnya tidak perlu lagi. Nanti, di petitum, seperti itu, ya,” jelas Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut pada pokok permohonan atau di posita dapat diuraikan lebih lanjut dan lebih jelas persoalan yang terjadi bukan semata-mata persoalan penerapan hukum. “Ini kan lebih banyak penerapan hukum. Kata ‘barang siapa’ ternyata multitafsir ke sana ke mari. Ini merupakan konstitusional norma yang menyangkut multitafsir itu, multitafsir itu di UUD sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Arief.
Majelis Panel Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas penyerahan perbaikan permohonan, paling lambat Rabu 15 November 2023 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.