JAKARTA, HUMAS MKRI - Keberadaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Keberadaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak untuk dibiarkan tanpa ada kemanfaatan, namun dimanfaatkan dengan tetap mempertahankan keberlanjutan dan berwawasan global, serta memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Demikian disampaikan oleh Aan Eko Widiarto selaku Ahli pemohon dalam sidang uji Materiil Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP-PPK) pada Rabu (1/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Aan mengatakan, politik hukum pembentukan UU Pesisir tidak melarang sama sekali (larangan absolut) atas pemanfaatan pulau-pulau Kecil dan perairan di sekitarnya. Hal ini berkesesuaian dengan pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Menurut Mahkamah dalam putusannya dimaksud, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulai kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum,” terangnya.
Bahkan Mahkamah juga menegaskan guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) dan tidak berlaku surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan izin usaha di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU PWP-PPK tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan izin usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi.
Ia juga menyebut, norma undang-undang yang dibentuk seharusnya terbebas dari permasalahan kekaburan hukum (vague of law), pertentangan hukum (conflict of law), dan/atau kekosongan hukum (vacuum of law) guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Namun apabila akibat keterbatasan, baik secara teknis drafting atau akibat pengaruh non hukum dalam perumusannya, maka di sinilah Mahkamah sebagai the guardian and the interpreter of the constitution yang akan meluruskan sesuai UUD 1945 melalui putusannya.
Menurut Aan, Pasal 23 ayat (2) UU PWP-PPK perlu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya tidak dilarang untuk selain kepentingan pemanfaatan yang diprioritaskan. Pasal 35 huruf (k) UU Pesisir juga perlu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan /atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Penuturan Saksi Pemohon
Pada persidangan kali ini, Pemohon menghadirkan dua saksi, yakni Abarudin dan Marlion. Abarudin menjelaskan, dulu ia dan sebagian warga menolak kegiatan pertambangan PT GKP di Pulau Wawoni. Alasan penolakan karena Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan pada awalnya tidak memberikan keputusan yang tegas mengenai boleh atau tidaknya PT GKP beroperasi di Pulau Wawoni. Seiring dengan adanya pro dan kontra perihal investasi pertambangan PT GKP, pada 31 Desember 2019 terjadi pertemuan antara pihak yang pro dengan yang kontra di rumah salah satu warga atas nama Lagumba, Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara.
“Hasil dari pertemuan tersebut, pihak pro dan kontra bersepakat jika Pemerintah Daerah Konawe Kepulauan menentukan sikap apakah mendukung atau menolak masuknya investasi PT GKP, maka kedua belah pihak akan mengikuti semua keputusan dari Pemerintah Daerah Konawe Kepulauan,” terangnya.
Menurutnya, seiring dengan masuknya PT GKP beroperasi di Pulau Wawonii, ia sebagai masyarakat Wawonii merasakan dampak positif dengan masuknya PT GKP. Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan juga mendukung investasi tambang tersebut. Kehadiran PT GKP membawa dampak positif pada masyarakat desa-desa sekitar. Terlihat dari adanya peningkatan jumlah industri rumah tangga, warung /toko, dan pedagang eceran di desa-desa sekitar. Selain program CSR yang diberikan oleh PT GKP, perusahaan juga mempekerjakan putra putri lokal asli Wawonii sehingga banyak mengurangi pengangguran di desa.
“Saya sendiri mendengar adanya tudingan-tudingan dari masyarakat penolak bahwa PT GKP melakukan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kekeruhan air sungai yang dipergunakan sebagai air minum warga masyarakat. Di kesempatan ini, saya ingin menyampaikan bahwa tudingan tersebut tidak benar,” tandas Abarudin.
Baca juga:
Menguji Aturan Larangan Penambangan Mineral Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Perihal Pengelolaan Wilayah Pesisir
Hak Masyarakat Adat pada Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 35/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). Pemohon merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK. Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil. Padahal Pemohon telah memiliki ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Sehingga menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan UU tersebut dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha di bidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.