JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dapat diterima. Permohonan ini diajukan oleh M. Samosir Pakpahan yang berprofesi sebagai advokat. Sidang pengucapan Putusan Nomor 123/PUU-XXI/2023 dilaksanakan pada Selasa (31/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi dalam persidangan.
MK dalam pertimbangannya mengatakan telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti, pada hari Senin, tanggal 23 Oktober 2023. Dalam persidangan tersebut, Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan yang telah diperbaiki sesuai dengan nasihat Panel Hakim pada persidangan sebelumnya.
Setelah Mahkamah mencermat, Pemohon benar telah mengubah objek permohonan menjadi Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, Pemohon tidak menguraikan Pasal 77 huruf a KUHAP dimaksud yang telah dimaknai sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Sehingga, Pasal 77 huruf a KUHAP yang diajukan untuk dilakukan pengujian masih merupakan Pasal 77 huruf a KUHAP asli atau norma sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-X/2014 yang pada pokoknya telah mengubah atau memperluas makna norma Pasal 77 huruf a KUHAP tersebut.
“Lebih lanjut pada bagian objek permohonan yang menguraikan alasan-alasan permohonan, posita Pemohon juga tidak mengaitkan norma Pasal 77 huruf a KUHAP dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-X/2014.
Demikian halnya pada bagian petitum Pemohon juga telah melakukan perubahan yang awalnya terdiri dari empat angka menjadi tiga angka. Namun, setelah dicerna oleh Mahkamah ternyata pada petitum angka dua, Pemohon tidak memohon agar Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 ataupun bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, melainkan Pemohon hanya memohon Pasal 77 huruf a KUHAP atap berlaku dan dimaknai dan mengatur adanya tenggang waktu 14 hari terhitung setelah terbitnya surat penetapan penangkapan, penetapan penahanan, penetapan penghentian penyidikan dan penuntutan, serta penetapan tersangka, penetapan penggeledahan penetapan penyitaan sampai upaya hukum praperadilan.
“Di samping itu, Pemohon juga tidak melekatkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 pada penyebutan norma Pasal 77 huruf a KUHAP Penyusunan petitum dan tata cara penyebutan norma yang demikian, selain tidak sesuai dengan sistematika penyusunan petitum permohonan yang ditentukan dalam Pasal 10 PMK 2/2021, juga telah menimbulkan ketidakjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimohonkan oleh Pemohon untuk diputus dalam permohonannya,” kata Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut,” jelas Suhartoyo.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.