Presiden SBY diberitakan mengeluh sering "diganggu" parlemen. Karena itu, setuju dengan usulan amandemen konstitusi. Terbitlah sekian kritik. Ada yang menilai ingin kembali ke zaman Orde Baru, ada yang menyalahkan karakter kepemimpinan.
Benarkah SBY mengeluh? Hemat saya tidak. Itu bukan keluhan. Saya memahaminya sebagai pembeberan realitas politik. Kenyataan itu perlu dibuka kepada publik, sehingga menjadi agenda nasional. Mengapa? Karena hal itu perkara penting bagi masa depan Indonesia.
Intinya ada masalah dengan sistem pemerintahan presidensial sekarang. Formalnya memang presidensial, tapi secara faktual berjalan seperti pemerintahan parlementer. Banyak urusan yang masuk wilayah kewenangan eksekutif, harus dengan persetujuan parlemen. Untuk urusan rekruitmen Kepala BP Migas saja harus dipilih lewat seleksi di DPR. Contoh lain, urusan pengalihan status hutan (termasuk di Bintan yang ada buntut hukumnya). Banyak hal lain yang lebih strategis.
Artinya, ada kecenderungan heavy di parlemen. Parlemen bukan saja kuat, tapi kewenangannya menjorok masuk ke urusan eksekutif. Sementara, kelaziman sistem presidensial, di mana Presiden dibekali hak veto, tidak diatur konstitusi kita. Mestinya, Presiden disempurnakan kewenangan operasionalnya dalam menjalankan roda pemerintahan dengan hak veto.
Legislative heavy inilah yang layak kita kaji ulang. Bukan untuk memperlemah parlemen. Juga tidak untuk kembali ke zaman Orde Baru yang heavy di eksekutif. Yang ingin kita bangun adalah check and balances yang sehat antara eksekutif dan legislatif, termasuk pengaturan kewenangan secara wajar dan berlandaskan kaidah-kaidah sistem pemerintahan presidensial sesungguhnya.
Untuk itu, jalannya amandemen Konstitusi. Memang amandemen bukan satu-satunya. Masih ada perkara sistem kepartaian, sistem pemilu, pola dan etika berkoalisi, serta kedewasaan politik. Tetapi yakinlah, tanpa amandemen konstitusi, legislative heavy tetap akan berlaku.
Kapan sebaiknya dilakukan? Hemat saya, setelah pemilu 2009. Biar persiapannya matang, komprehensif dan tidak adhoc. Bukankah semuanya dalam rangka system building untuk lebih menjamin masa depan Indonesia kita? Wallahu alam. (Anas Urbaningrum)
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id