JAKARTA, HUMAS MKRI - Muhammad Joni selaku kuasa hukum dari Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri atas lima organisasi profesi medis dan kesehatan, kembali hadir dalam persidangan di Mahkamah Kontitusi (MK) pada Rabu (25/10/2023). Sidang kedua untuk Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 ihwal pengujian formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ini diselenggarakan oleh Majelis Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Joni dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan menyebutkan bahwa pihaknya telah menambahkan bukti AD/ART dari para Pemohon yang yang di dalamnya dijelaskan mengenai pihak yang berhak mewakili di dalam maupun di luar pengadilan. Berikutnya para Pemohon juga telah pula menyempurnakan beberapa bagian mengenai kepentingan konstitusional para Pemohon atas pengujian undang-undang.
Selain itu, Joni menyampaikan perbaikan pada uraian dalam alasan mengenai cacat formil karena tidak melibatkan DPD. Kemudian, mendefinisikan kembali makna otonomi daerah dan pendidikan, serta penjelasan tentang pentingnya meaningfull participation dalam pembuatan norma undang-undang.
“Sehingga para Pemohon telah menyempurnakan petitum, yakni permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dalam tenggang waktu yang sah sesuai ketentuan yang berlaku; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sesuai UUD 1945; dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Joni.
Baca juga:
Cacat Formil UU Kesehatan Versi Organisasi Profesi
Sebagai tambahan informasi, Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri atas lima organisasi profesi medis dan kesehatan, mengajukan pengujian formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kelima organisasi profesi medis dan kesehatan dimaksud yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai Pemohon I, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sebagai Pemohon II, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) sebagai Pemohon III, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) sebagai Pemohon IV, dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) sebagai Pemohon V).
Dalam sidang perdana pengujian formil UU Kesehatan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 yang digelar di MK pada Kamis (12/10/2023), Muhammad Joni selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, para Pemohon merupakan tenaga medis yang terdampak langsung dan memiliki kepentingan atas prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. Sebab berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti norma baru termasuk mengenai organisasi profesi, konsil, kolegium, yang merupakan norma kelembagaan dan sekaligus pasal-pasal “jantung” yang tidak memastikan adanya wadah tunggal organisasi profesi kedokteran dan kesehatan.
Demikian pula norma mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa prosedur formil yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation). Terlebih lagi, sambung Joni, adanya Bab XIX Ketentuan Peralihan, Pasal 451 yang menjadi norma hukum menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ “jantung” organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan "milik” pemerintah). Namun dengan sewenang-wenang dan melanggar hak konstitusional kemerdekaan berhimpun segera akan menghapus seluruh entitas hukum kolegium dengan cara membuat norma Pasal 451 UU Kesehatan yang berbunyi: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana diraksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini.”
Cacat Formil
Pada alasan permohonan para Pemohon menilai UU Kesehatan mengalami cacat formil. Hal ini karena tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan dan tidak adanya pertimbangan DPD dalam pembuatan UU Kesehatan, serta tidak sesuai dengan prosedur pembuatan norma sebagaimana ditentukan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan UU Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.