JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (11/10/2023). Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 diajukan oleh seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra.
Pemohon mempersoalkan norma Pasal 222 UU Pemilu mengenai ambang batas presidensial. Dalam persidangan yang digelar secara luring, M. Iqbal Sumarlan selaku kuasa hukum menegaskan Pemohon merupakan perorangan WNI, pemegang KTP yang dalam kesehariannya juga menjalankan pekerjaan sebagai pemberi jasa hukum atau advokat yang fokus pada isu-isu ketatanegaraan dan kepemiluan. Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam kapasitasnya sebagai pemilih dalam pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017. “Pemohon telah genap 35 tahun dan telah menikah semenjak berusia 17 tahun sampai saat ini pemohon telah mengikuti pemilu sebanyak tiga kali,” ujar Iqbal di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Selanjutnya, Iqbal menerangkan, terdapat penambahan pada kedudukan hukum. Sementara pada alasan permohonan juga terdapat penambahan yakni pada poin 29. “Bahwa ketentuan batas Pasal 222 UU Pemilu yang hanya menentukan syarat batas bawah pencalonan tanpa ada mengatur syarat lain pencalonan membuka kemungkinan partai-partai bergabung mengumpulkan syarat kursi dan suara sebanyak-banyaknya tanpa batas. Akibatnya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu berpotensi menyebabkan dua kondisi yang pertama menyebabkan gabungan partai politik berpotensi dapat membentuk koalisi dominan dan menyisahkan koalisi minoritas partai yang lebih kecil sehingga peserta pemilihan presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua paslon saja atau kedua menyebabkan potensi pemilihan pencalonan presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh astu paslon saja,” jelasnya.
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dengan Pasal 6A ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 222 dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena berpotensi memunculkan koaliasi super dominan yang dapat mengunci pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon (head to head) atau satu pasangan calon tunggal. Berdasarkan ketentuan ini, setiap partai ataupun gabungan partai yang hendak mengusung calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi perolehan kursi DPR sebanyak 20% atau syarat perolehan suara dalam pemilu legislatif sebelumnya sebesar 25%. Itulah alasan partai-partai saling berkoalisi satu sama lain semata memenuhi syarat minimal pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut.
Akibatnya ketentuan a quo berpotensi menyebabkan dua kondisi yakni menyebabkan gabungan parpol berpotensi dapat membentuk koalisi super dominan dan menyisahkan koalisi minoritas partai yang lebih kecil sehingga presiden dan wakil presiden diikuti oleh dua pasangan calon saja atau kedua menyebabkan munculnya potensi pemilihan capres dan cawapres dan hanya diikuti oleh pasangan calon saja atau capres atau cawapres tunggal. Apabila salah satu dari dua pasangan calon yang ada terutama koalisi minoritas sehingga dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan dari KPU.
Untuk itu, dalam petitum, MK diminta Pemohon menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserat Pemilu paling banyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling banyak 50% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha