JAKARTA, HUMAS MKRI - Muhammad Hafidz (Pemohon) perkara Nomor 126/PUU-XXI/2023 kembali hadir dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/10/2023). Di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P. Foekh, Pemohon membacakan pokok-pokok perbaikan permohonan.
Pada awalnya, Pemohon menguji keseluruhan bunyi Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Namun pada sidang kedua ini, Pemohon mempertegas objek permohonan yang diujikan berfokus pada frasa “dikabulkan” pada Pasal 56 ayat (3) UU MK.
Selanjutnya, Pemohon telah melengkapi bagian identitas diri khususnya penyertaan surat keterangan kerja aktif yang telah dilampirkan sebagai bukti pada permohonan. Sementara itu, pada bagian legal standing, Pemohon menguraikan pula kasus konkret yang dapat saja kembali terjadi dan dialami dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pemohon juga menambahkan contoh kasus di beberapa pengadilan atas tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi yang mana Pemohonnya diberikan legal standing. Sementara, ketika Mahkamah dalam satu putusan mengabulkan pengujian undang-undang (PUU) yang diajukan, tetapi norma hukum atau undang-undang di Indonesia belum mengatur kedudukan hukum demikian sebagaimana yang ada pada pengadilan tata usaha negara.
“Dengan demikian, Pemohon pada petitum meminta kepada Mahkamah agar menyatakan frasa ‘dikabulkan’ pada Pasal 56 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai, apabila materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia berakibat pada hilangnya hak-hak keperdataan, martabat dan atau nama baik seseorang, maka negara dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi dan atau rehabilitasi,” ucap Hafidz di Ruang Sidang Pleno, Gedung I, MK.
Baca juga:
Ketiadaan Batas Waktu Penyelesaian Uji UU di MK Potensial Rugikan Hak Konstitusional
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 126/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian UU MK diajukan oleh Muhammad Hafidz, karyawan swasta. Hafidz menguji frasa “dikabulkan” pada Pasal 56 ayat (3) UU MK terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pasal 56 ayat (3) UU MK menyatakan, “Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (92), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada Rabu (11/10/2023) Hafidz menganalogikan norma yang diujikan tersebut dengan kasus konkret yang sedang dialaminya dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pihaknya akan ditetapkan (putusannya) dalam waktu paling lama satu tahun terhitung sejak tanggal dilakukannya pemutusan hubungan kerja. Sementara hingga saat ini MK belum menentukan batas waktu penyelesaian permohonan dan bahkan pengucapan putusan terhadap PUU dalam Perkara Nomor 94/PUU-XXI/2023. Dalam perkara tersebut, Pemohon mendalilkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004) ke MK, yang sejalan dengan perjuangan gugatannya di Pengadilan Hubungan Industrial.
Atas ketiadaan batas waktu penyelesaian perkara di MK ini, Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya jaminan hukum atas hilangnya hak-hak keperdataan Pemohon berupa uang kompensasi pesangon yang nyata-nyata terlanggar akibat berlakunya norma Pasal 82 UU 2/2004 tersebut.
Oleh karena itu, dalam petitum Hafidz meminta kepada MK menyatakan frasa “dikabulkan” dalam Pasal 56 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “apabila materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia berakibat pada hilangnya hak-hak keperdataan, martabat dan atau nama baik seseorang, maka negara dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”
Baca juga:
Karyawan Swasta Persoalkan Biaya Perkara Gugatan PHI
Karyawan Swasta Perbaiki Uji Biaya Perkara Gugatan PHI
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.