JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang uji materiil Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Pasal 253 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali digelar Mahkamah Konstitusi pada Senin (23/10/2023).
Sidang kedua dengan agenda mendengarkan poin perbaikan permohonan dari Asep Muhidin (Pemohon I), Rahadian Pratama Mahpudin (Pemohon II), dan Asep Ahmad (Pemohon III) ini dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul, Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Rahadian menyebutkan beberapa hal yang telah disempurnakan pihaknya, di antaranya bagian kewenangan MK dengan menambahkan butir-butir kewenangan yang dimaksud; legal standing dan kerugian para Pemohon yang telah diuraikan dalam satu bagian; alasan permohonan; dan pengurangan pada bagian petitum.
“Bagian petitum dihapusnya yang nomor dua, sehingga petitumnya menjadi para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Para Pemohon. Meminta agar Mahkamah menyatakan “Menyatakan frase ‘... hanya jika dipandang perlu ...’ dalam Pasal 50 ayat (1) UU MA tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai ‘wajib’ sehingga bunyi Pasal 50 ayat (1) menjadi “Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan ‘wajib’ Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi,” sebut Rahadian yang merupakan Pemohon prinsipal Perkara Nomor 122/PUU-XXI/2023.
Dalam Sidang Pendahuluan yang berlangsung pada Senin (9/10/2023), Pemohon I berprofesi sebagai advokat, Pemohon II berprofesi sebagai asisten dosen di Sekolah Tinggi Hukum Garut, dan Pemohon III berprofesi sebagai wartawan yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam memperjuangkan keadilan apabila dianggap perlu, pihaknya tentu akan mengajukan permohonan Kasasi kepada MA atas putusan sebelumnya yang dianggap kurang adil. Namun pada kenyataan di lapangan, para Pemohon mendapati, MA baik untuk pemohonan kasasi atau peninjauan kembali tidak pernah ditemukan adanya permintaan keterangan dan penjelasan oleh hakim agung yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan. Bahkan tidak pernah ada putusan yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana termuat dalam Pasal 40 ayat (2) UU MA beserta Penjelasannya.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Para Pemohon. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (1) UU MA, Pasal253 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan Asas Kepastian Hukum. “Menyatakan frase ‘... hanya jika dipandang perlu ...’ dalam Pasal 50 ayat (1) UU MA tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai ‘wajib’ sehingga bunyi Pasal 50 ayat (1) menjadi “Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan ‘wajib’ Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina