JAKARTA, HUMAS MKRI - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selaku Pihak Terkait menghadirkan tiga ahli hukum dalam sidang uji materiil Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (19/10/2023). Tiga ahli dimaksud yakni Bayu Dwi Anggono, Hibnu Nugroho, dan Khairul Fahmi.
Terhadap dalil Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi, dkk (para Pemohon) dalam Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini, Bayu Dwi Anggono (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember) menjabarkan isu konstitusionalitas pengaturan dalam UU P2SK yang menjadikan penyidik OJK sebagai penyidik tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam perspektif ilmu perundang-undangan.
Metode Omnibus
Terkait dengan penyusunan UU P2SK yang menggunakan metode omnibus, Bayu mengatakan selain harus berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, wajib pula tunduk pada keterpenuhan syarat-syarat asas pembentukan undang-undang yang baik, berupa asas materi muatan di antaranya asas ketertiban dan kepastian hukum.
Sehubungan dengan beberapa UU P2SK yang menjadikan “hanya penyidik OJK” yang berwenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan serta menghilangkan wewenang penyidik Polri dalam melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan, Ahli melihat ini telah secara nyata bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana termuat pada Pasal 6 ayat (1) huruf i UU P3. Hal ini dikarenakan telah menimbulkan konflik norma dengan Pasal 30 ayat (4) UUD NRI, UU Polri, dan KUHAP. Sebab norma-norma yang ada tersebut telah secara jelas menjamin wewenang penyidik Polri dalam melakukan penyidikan atas semua tindak pidana.
“Adapun beberapa norma yang diubah oleh UU P2SK seperti UU OJK, UU Perbankan, UU Perasuransian, yang di dalamnya mengatur ‘hanya penyidik OJK’ yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan merupakan kategori UU non-organik yang pembentukannya bukan atas dasar perintah UUD NRI 1945. Sementara UU Polri merupakan UU Organik yang salah satu materi muatannya mengenai pelaksanaan kewenangan Polri dalam penegakan hukum terkait kewenangan penyidikan tindak pidana, yang lahir dari UUD 1945,” sampai Bayu pada sidang kedelapan perkara ini yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta.
OJK Bukan Organ Presiden
Khairul Fahmi (dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas) memberikan pandangan mengenai konsekuensi hilangnya wewenang institusi Polri dalam penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam UU P2SK. Adanya pergeseran mengenai wewenang penyidikan tindakan pidana sektor jasa keuangan menjadi hanya wewenang OJK merupakan sebuah fakta hukum yang menimbulkan dampak bagi ketatanegaraan berupa beralihnya satu wewenang organ Presiden (Polri) kepada lembaga independen. Akibatnya, Presiden tidak lagi memiliki wewenang untuk menjalankan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban umum melalui pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan. Padahal secara konstitusional, OJK tidak pula memiliki mandat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana tugas yang diemban Polri.
“Oleh karenanya, pemberian wewenang penyidikan kepada organ selain Polri seharusnya tidak menghilangkan atau menegasikan tugas penegakan hukum Polri. Sebab tugas penegakan hukum mesti terus melekat pada institusi Polri sekalipun terdapat organ negara lainnya yang diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan,” jelas Khairul.
Eksistensi Penyidik Polri
Hibnu Nugroho (guru besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman) dalam keterangannya membahas kewenangan penyidikan tindak pidana (yang dilakukan Penyidik Polri dan PPNS OJK) yang telah diatur dalam KUHAP. Penyidikan merupakan bagian dari pemeriksaan pendahuluan dan pintu gerbang dari pemeriksaan perkara. Dengan berpedoman pada sistem peradilan Indonesia, Hibnu berpendapat apa pun jenis tindak pidana, Penyidik Polri menjadi bagian dari penyidik sektor jasa keuangan. Sehingga pasal-pasal pada UU P2SK yang diujikan pada permohonan ini tidak selaras dengan konsep peradilan di Indonesia.
“Pada kesimpulannya, UU P2SK tidak boleh menghilangkan keberadaan Polri sebagai penyidik dan dampaknya penyidikan yang dilakukan OJK itu berpotensi menjadi tidak sah karena pada akhirnya Penyidik Polri tidak dapat melakukan penyidikan lanjutan. Sehingga hal ini menimbulkan ketidakpastian pada pemberantasan tindak pidana pada sektor jasa keuangan,” sampai Hibnu.
Baca juga:
Kewenangan Penyidikan Tunggal kepada OJK Dipertanyakan
Pemohon Uji UU P2SK Perkuat Argumentasi Permohonan
DPR dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Soal Penyidik Tunggal OJK
Urgensi Penyidik OJK Dalam Pandangan DPR dan Presiden
Polri dan OJK Jelaskan Ranah Penyidikan Sektor Jasa Keuangan
Kisah SP NIBA AJB Bumiputera 1912 dan Aliansi Korban PT WAL Mencari Keadilan
Penyidik Tunggal OJK Mereduksi Kewenangan Polri
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV), Bakhtaruddin (Pemohon V), dan Muhammad Fachrorozi (Pemohon VI). Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK.
Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.”
Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Dalam sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (19/6/2023), Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.
Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Baca juga:
MK: Kewenangan Penyidikan OJK Perlu Koordinasi dengan Kepolisian
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.